Sabtu, 18 Mei 2013

Cerita Setengah Baya : Obat awet muda part 2

Tiba-tiba aku bertanya,


"Eh kamu hari Minggu koq tidak pergi main-main sih? kan bisa besok nagih."


"Aa.. aku pengen beresin ini Bu..." katanya.


"Masih banyak yang mesti ditagih?" tanyaku lagi.


"Tidak, ini terakhir."


"OK, ini uangnya dan terima kasih ya," kataku sambil berdiri.


Terlihat mukanya kecewa karena mungkin inginnya sih apa ya? (mana aku tahu dia mikir apa, yang jelas tegangnya masih tuh di balik celana pendek jeansnya).

Dia berdiri dan cepat ditutupkannya lagi tasnya di depan kemaluannya.


"Eh Banu, mau bantu Mbak tidak?" tanyaku.


Dengan sergap ia menjawab, "Mau..." katanya senang.


"Ini Mbak mau pakai krim tapi susah kalau di belakang punggung. Mau tidak kamu bantuin oleskan."


Wah kalian mesti lihat ekspresi mukanya, seperti orang menang lotere 1 juta dolar tuh.


"Ayo sini naik ke kamar Mbak deh!" ajakku.


Berdebar-debar aku membayangkan ini semua. Lubang vaginaku sudah bukan main gatelnya. Aku berbaring telungkup tanpa melepas handuk setiba di kamar.

"Itu Ban, ada di meja hias yang warna putih botolnya."


"Ini ya Mbak?" katanya cekatan.


Ia sudah lupa dengan tasnya dan celananya seperti sebuah tenda dengan tonggak tegak lurus.


"Yep..... itu dia Banu. Ini mulai dari pundak atasku ya Ban.


Ia duduk di pinggirku dan nafasnya terdengar terengah-engah. "Srr..." duh dinginnya krim itu ketika ia mulai mengoles pundakku. Tangannya terasa hangat sekali dan gemetar.


"Banu kamu pernah tidak ngolesin body cream gini?" tanyaku untuk membuat ia relaks.


"Ahhh... nggak pernah. Mbak cantik sekali dan kulitnya halus bener deh," katanya sambil terus mengoleskan krim.


Ah enak, dan pahanya terasa menempel pada sisi tubuh atasku.

"Eh Mbak, ini handuknya ngehalangin," katanya lebih berani.


Aku berdebar dan... "Oh iya... dorong saja..." tangannya mendorong sisi atas haduk di punggungku dan ditambahkannya krim dan dioleskannya ke punggungku.


"Mbak.. eeeh... saya buka saja ya handuknya."


Ah... batinku, berani juga anak ini. Kuangkat sedikit badanku dan ditariknya handuk dan jadi longgar dan copot. Buah dadaku terasa sedikit pedih waktu ditariknya handuk itu dan telanjang bulatlah aku. Dari kaca meja hias aku lihat Banu ternganga lagi melihat tubuh mulus dan montok tersaji di depan matanya. Ia lupa mesti memberi krim. Aku pun menahan nafsuku dan tetap terlungkup.

"Eh Banu ayo dong! ngeliatin apa sih kayak belum pernah ngeliat wanita," desahku merangsang.


"Oh iya iya..."


Dia mengoles lagi dengan sigapnya, tangannya teasa tambah hangat.


"Hmm, pantatnya juga tidak Mbak Etty?"


Hi hi hi dia panggil aku pakai nama Etty, lucu rasanya karena sudah lama tidak dipakai nama itu.


"Iya," ujarku.


Dan "Seerr..." rabaan tangannya membuatku mendesah keenakan dan suasana di kamar itu sudah penuh dengan hawa nafsu saja. Rabaan tangannya mulai mengcengkeram kedua bukit sintal, dan aku pelan-pelan merenggangkan pahaku dan kuangkat sedikit pantatku. Banu pindah ke dekat pahaku dan aku geli karena pasti dia ingin lihat vaginaku. Sengaja kuangkat terus dan kulebarkan lagi pahaku dan tangannya masih meremas-remas (bukan ngolesin lagi cing).

Kulihat ia menjilatkan lidahnya ke bibirnya dan tangannya mendekat ke arah paha dan jempolnya kiri dan kanan mendekat ke vaginaku sambil tetap meremas-remas pantatku sebelah bawah. Aku pun tak sadar mendesah-desah keenakan dan terasa di sebelah dalam pahaku mengalir cairan dari vaginaku. Aku diam saja supaya Banu tidak malu dan kuintip terus dari kaca kelakuannya. Diulurnya jempolnya dan terasa sentuhan halus di tepi bibir vaginaku. Enak dan aku angkat lagi pantatku dan jempolnya menyentuh lebih berani. Aku menahan terus nafsuku, maunya sih aku sudah berbalik dan kuterkam saja si Banu ini tapi itu akan mengurangi nikmat. Banu melihat aku diam saja dan jempolnya tambah ke dalam pahaku dan ia kelihatan terkejut merasakan lincir dan hangat, basah sekali bibir vaginaku. Ia melihat aku tetap terdiam, aku menggigit bantal yang kupeluk dan terasa puting susuku gatal sekali juga. Kutahan nafsuku dan kubiarkan dia eksplorasi dulu.

Nak Banu... aduhh..." keluhku, "Shhh... enak sekali..."


Dan kakinya tambah dikangkangkannya lebar-lebar, pantatnya naik sedikit sehingga vaginaku sudah terpampang di mata Banu yang terbelalak. Tenggorokannya kering sekali dan tangannya dingin. Bulu kemaluanku sudah menempel karena kuyup. Jari Banu meremas-remas pantat dan paha atas. Dilihatnya vagina merekah dan bau khas seperti laut begitu merambah hidungnya membuat suasananya tambah merangsang. Dasar anak masih "ijo" dia tak tahu mau ngapain. Aku biarkan jarinya mendekat ke bibir vaginaku dan kutahan nafas mengantisipasi enak yang bakal kurasakan. Kutinggikan lagi pantatku dan terasa jarinya menyentuh dan mulai menggosok dengan rasa ingin tahu sambil takut dimarahi. Aku berbisik, "Terus Banu... paha dalam ibu itu perlu juga," aku memberanikan dirinya, dan aku lebarkan lagi pahaku sehingga betul betul sudah bebas terlihat belahan vaginaku dari belakang situ. Jari-jari Banu mulai mendekat lebih jauh ke lubang dan bibir-bibir kiri dan kanan vaginaku dan mengorek-ngorek. "Aduhhh... nikmat sekali..." Jari tengah Banu masuk ke lubang basah dan keluar-masuk, ia mengorek-ngorek tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Kutuntun tangannya dan kutangkupkan pada vaginaku dan jari telunjuknya aku letakkan di atas klitorisku "Gosok dan gelitik Banu!" kataku. Pantatku tambah tinggi sehingga aku hampir berlutut. Pantatku sudah hampir setinggi mulut Banu yang ternganga selebar pintu Tol.

Dengan pelan tanganku meraba paha Banu, seperti orang kena listrik ia mengejang. "Jangan takut Banu, Ibu tidak apain kok." Aku naikkan lagi dan penisnya yang sudah keras luar biasa terasa di luar celana pendeknya. Aku elus-elus dan ia seperti orang kesurupan, matanya terbalik-balik keenakan, dan kutarik celananya ke bawah, ia berdiri dan bebas merdeka batangnya itu. Kugenggam erat-erat dan aku bilang, "Banu kamu ke belakang situ dan tempelkan penismu ini ke mulut lubang vagina." Aku menungging berlutut, pantatku tinggi ke atas dan posisi vaginaku sudah terbuka lebar. Banu mendekat dan sambil memegang penisnya ia mengarahkan ke vaginaku.


"Ahhh.. ahhh... enak Banu..."


"Iya Mbak enak sekali..."


Aku pegang penisnya dan pelan-pelan kuamblaskan ke dalam lubang vaginaku. Gila panas sekali batangnya itu. Dan aku mulai berayun-ayun ke depan dan ke belakang. Banu pegangan pada pinggulku, buah dadaku berayun-ayun menggelantung bebas. Dan pelan sekali kusedot penis Banu dalam vaginaku, kugerakkan otot dinding vaginaku bergelombang-gelombang. Di kaca aku melihat posisiku dan Banu, sungguh pemandangan luar biasa. Anak masih "ijo" itu antusias sekali dan kelihatan ia masih bingung-bingung. Terus kugenjot dan Banu mulai pintar mengikuti gerakannya, dan terasa batangya maju-mundur menggaruk-garuk dinding vaginaku dengan nikmat sekali.

Dan 2 menit kemudian meledak-ledak orgasmeku dan ia kujepit dengan kencang dalam vaginaku sampai terasa seperti kuperas batangnya sampai kering dari spermanya. Terdampar Banu di atas punggungku dan aku rebah ke ranjang. Penisnya masih setengah tegang dan terasa berdenyut denyut. Itu pengalaman Banu pertama.

Aku tertidur setelah itu dengan enak sekali, sungguh segar. Besoknya aku sibuk di kebun sampai sore, dan siangnya aku tidur lagi sebentar, rencanaku anak kostku yang lain akan kupetik perjakanya. Jam 06.00 sore aku mandi dan dandan sedikit, aku kenakan daster tipis. Setelah itu aku duduk di kamar tamu membaca koran sore menunggui anak-anak kost pulang kuliah sore. Di luar terdengar suara orang berjalan menuju pintu depan, hatiku berdebar menebak siapa yang datang. Ketokan pintu baru 2 kali dan aku sudah membuka dengan cepat sambil tersenyum manis. Eh Pak RT ayahnya Banu, aku kecewa dan terkejut. Apa Banu laporan ke Bapaknya? Tidak biasa-biasanya Pak Zainul kemari.

"Oh selamat sore Mbak Etty, maaf mengganggu," katanya.


Matanya liar melihat tubuhku dari atas sampai ke bawah, apalagi dasterku tidak bisa menyembunyikan buah dadaku dengan baik.


"Iya Pak mari masuk," undangku sambil melebarkan pintu.


"Ada apa Pak RT?"


"Oh ini Bu, ada surat ke sasar di rumah Pak Anwar pas saya lewat tadi mau pulang dan karena lewat rumah Mbak, ya saya bawa sekalian," katanya sambil menyerahkan sepucuk surat.


Matanya menatap wajahku dengan tajam kemudian turun ke arah buah dadaku yang separuh nongol di dasterku. Ih ganas juga orang ini pikirku.


"Oh terima kasih Pak, mari duduk!" kataku sopan dengan mengharapkan ia segera pergi.


"Ini Bu, tadi saya ketemu nak Andi dan titip pesan, anak-anak mau ke undangan pesta anaknya Pak Anwar ulang tahun Bu, mereka makan malam dan katanya mau nginap di sana."


Aku kecewa sekali mendengar itu.


"Ya, terima kasih Pak ngerepotin jadinya."


"Oh tidak kok," seringainya seperti serigala buas.

Umur Pak Zainul aku rasa sekitar 40 tahunan masih gagah. Kata orang-orang dulu dia atlet renang dan sekarang punya toko olah raga di jalan besar dekat rumahku.


"Mbak kok kayaknya agak pucat?" ujarnya lagi.


"Aah masa..." kataku.


"Saya belajar sedikit Mbak tentang pengobatan," katanya.


"Mau tidak saya pijat telapak kakinya?" katanya.


"Tidak lama kok, paling 10 - 15 menit."


Aku jadi iseng, "Iya deh Pak, silakan duduk Pak, saya dimana?"


"Oh itu Mbak duduk saja di kursi rotan itu dan saya pakai ya dingklik ini," katanya dengan sigapnya.

Aku duduk dan ia duduk di dingklik dan mulai meraba telapak kakiku. Kemudian ia mulai memijit dan... "Aduh sakit Pak! kataku. Pahaku terbuka karena terkejut tadi. Aku jadi merah karena ingat tidak pakai celana dalam. Celaka, batinku. Cepat kurapatkan lagi dan Pak Zainul tenang seperti orang tidak melihat padahal pasti dia lihat tadi. Ia meletakkan satu kakiku di atas pahanya dan mulai memijat dengan pelan, "Ah enak juga," kakiku satu lagi di bawah pahanya dan aku menikmati pijatannya. Pelan-pelan dari tapak kakiku tangannya naik ke atas kaki kemudian ke betisku dan didorongnya ke arah luar sehingga aku agak mengangkang lagi jadinya. Aku diam saja. Kakiku satu lagi sekarang pas di bawah buah zakar dan penisnya, pelan-pelan kunaikkan dan jempolku pas kena buah zakarnya kugeser-geser di situ. Pikirku, tidak ada akar rotan pun jadilah, lagi orangnya lumayan bersih dan tidak bau badan. Aku memejamkan mata dan membiarkan pijatannya naik ke betisku dan aku mulai merasa basah. Kuelus-elus buah pelirnya dengan jari-jari dan punggung kaki. Ahh, koq penisnya besar sekali terasa di kakiku. Pak Zainul pakai celana training dan kuintip, wah sudah jadi tenda tuh. Dan aku sudah berserah dan Pak Zainul sudah mendesak pahaku dan dasterku sudah tersingkap sampai ke atas, aku diam saja dan ia mulai menciumi dengkulku, aduh gelinya.
Kemudian ia menciumi dan menjilati pahaku. Dan kakiku diangkatnya ke atas sandaran tangan kursi rotan sehingga vaginaku terpampang menganga di depan mukanya. Ia masih duduk di depan dingklik tadi. Dan... dan... astaga... Pak Zainul dengan cekatan menciumi tepian bibir vaginaku. Aku sudah tak perduli apa-apa lagi hanya melenguh-lenguh keenakan. Ia menurunkan celana trainingnya dan berdiri, "Ini Mbak, obat untuk sehat," katanya sambil tersenyum dan diasongkannya penisnya ke mulut vaginaku. Dia berlutut dan "Bles..." seketika masuk penisnya seperti pisau panas membelah mentega. Dan tangannya merogoh buah dadaku dan diperasnya, ditariknya dasterku ke atas dan telanjang bulatlah aku. Tanganku terkapar di kiri dan kanan sehingga buah dadaku yang sintal menonjol, Pak Zainul menciumi kiri-kanan kiri-kanan sampai pentil buah dadaku keras sekali dan basah oleh ludahnya. Pantatnya maju-mundur maju-mundur menusuk vaginaku dan aku sudah keenakan tak perduli apa-apa. "ohhh... enaknya..." Aku sendiri mengempit kencang-kencang batang panas dan berurat-urat itu. Garukan maju-mundur dari kepala penisnya dengan seksama menggores dinding lubang vaginaku. Luar biasa enak. Tangan Pak Zainul meremas-remas buah dadaku dan pentil puting susuku terasa keras di telapak tangannya yang kasap.

"Pak Zainul, Paaakk... ayo Pak goyang terusss..."


Pinggul Pak Zainul dengan gesit maju-mundur.


"Pok plok plokk plok..."


Buah zakarnya tergantung-gantung menabrak bagian bawah vaginaku dan bulunya di sekitar base dari penisnya ikut masuk ke lubang, dan waktu keluar-masuk menambah geli tak terhingga. Aku menjerit-jerit kecil keenakan, dan kakiku seperti gurita mengempit di pinggang Pak Zainul. "Gila enak bukan main."

Ada 15 menit kami bertarung, dan kempotan vaginaku juga membuat wajah Pak Zainul merah dan urat-urat di keningnya menonjol keluar semua. Lubang vaginaku terasa agak pedih dan bibir vaginaku benar-benar ikut keluar-masuk dijepit oleh batang penisnya. Akhirnya Pak Zainul kejang-kejang dan penisnya dibenamkannya dalam-dalam dan aku segera meronta-ronta mengencangkan kempitan lubang vaginaku dan kakiku di pinggangnya juga dengan keras membantu. "Uahhh..." Meletus orgasme kami betubi-tubi. Mataku terbelalak dan nafasku sudah terengah-engah, dan tubuh Pak Zainul tumbang menimpaku di kursi itu. Hampir saja kursinya terguling. Diciumnya dengan mesra bibirku dan kubalas dengan gairah. Senut-senut vaginaku masih berdenyut dengan kuat dan batangnya terasa masih keras. Spermanya kurasa banjir keluar dari sela-sela penisnya dan mengalir ke arah pantatku dengan hangat dan kental. Wah tidak dapat si Andi aku dapat servis enak dari Pak RT, lumayan buat jajan sore. Aku jadinya menikmati anak dan bapak. Entah dia tahu tidak aku sudah memperjaka anaknya.

Tak lama Pak RT pulang setelah mencuci penisnya, dan katanya, "Mbak besok aku lanjutkan ya terapi pijetnya," katanya sambil meremas buah dadaku dengan tangan satunya dan tangan satunya menggosok-gosok vaginaku, aku senyum saja dan "Iya deh Pak RT." Dalam hati aku senang juga ada selingan dari orang yang berpengalaman. Kalau sama anak-anak muda aku jadi guru mereka, kadang ada enaknya dengan orang yang ada ilmu goyang yang seimbang. Aku mandi lagi, dan setelah makan aku berbaring dan tak lama aku dengar suara Andi, Herman dan Toni. Hmm, mereka sudah pulang, kulihat sudah jam 10.30 malam. Aku tidak keluar kamar membaca dan mendengarkan musik. Capai juga ngangkang di atas kursi tadi. Pinggulku agak nyeri juga. Ingat itu aku geli juga karena tidak menyangka.

Ketukan di pintu menyadarkan aku dan aku bilang, "Iya..." Andi masuk dan ia senyum-senyum.


"Ada apa Andi? nggak jadi nginap di rumah Anwar ya?" kataku manis.


Aku tak bangkit dari ranjang, dasterku agak tersingkap kubiarkan. Mata Andi segera melihat itu dan senyum lagi.


"Anu Mbak Etty. Perlu apa-apa tidak?" katanya sambil mendekat.


"Oh ini Mbak Etty..." katanya sambil duduk di sampingku dan tangannya memegang tanganku.


"Tapi tidak boleh marah ya... Herman, Toni kan masih SMA, mereka baru dapat pelajaran biologi dan sering nanya-nanya, aku tapi sulit juga menjelaskan kalau tidak ada peragaan."


"Lha iya, kamu kan di kedokteran bisa dong ngejelasin," kataku.


Elusan tangannya membuat hatiku berdesir lagi dan vaginaku langsung mendenyut. (Gila nafsuku besar sekali sih batinku).


"Lalu kenapa?"


"Ini lho, tapi bener ya tidak boleh marah?" kata Andi lagi.


"Iya sudah, apa sih susah banget mau ngomong. Kamu perlu uang buat beli peta biologi?"


"Eh tidak, sebenernya sudah ada tapi perlu bantuan Mbak Etty," kata Andi lagi.


"Gini Mbak, mereka ingin tahu tubuh wanita dan aku pikir paling gampang kalau Mbak Etty tidak keberatan aku pakai tubuh Mbak buat peragaannya."


"Ha.. ha.. ha... Andi kamu ada-ada saja, malu ah," kataku sambil berdebar-debar dengan pengalaman baru ini.


"Boleh tidak Mbak?" desak Andi lagi.


"Iya dah, tapi gimana? aku mesti apa?"

Baru aku bilang begitu pintu kamar sudah terbuka dan masuk Herman dan Toni. Kurang ajar dari tadi mereka nguping di pintu. Aku agak menjerit karena kaget. Herman dan Toni malu-malu dan mukanya merah. Andi mengajak mereka ke tempat tidurku dan katanya, "Mbak saya lepas ya dasternya." Aku malu, karena aneh rasanya ada 3 lelaki muda di kamarku. Tapi gemuruh di dadaku menggebu-gebu membayangkan tubuh ke-3 anak muda ini. Aku hanya bisa manggut-manggut, lidahku kelu dan duh vaginaku sudah langsung melembab dan lembek terasa hangat bibir vaginaku. Aku duduk dan kuangkat dasterku dan waktu tanganku ke atas buah dadaku langsung bebas menggelinjang sintal dan kulihat mata ke-3 anak itu membelalak. Aku menutup buah dadaku dengan daster yang sudah lepas dan Andi mendekat lagi. "Mbak baring ya, tangannya ke atas. Ini kita serius kok Mbak, mereka besok ujian. Jadi Mbak tidak usah malu karena membantu nih." Tanganku ditariknya kedua-duanya ke atas dan buah dadaku munjung dengan bebas dan seksi sekali. Kulirik dan duh mereka sudah pada tegang. Aku berbaring hanya bercelana dalam segitiga kecil sekali hampir tak bisa menutup vaginaku dan di depannya jelas sekali basah sudah.

Andi juga suaranya bergetar karena menahan nafsu, aku rasa. "Ton, Man sini kamu di sisi sana biar aku jelaskan tentang buah dada," katanya sok seperti dosen. Herman dan Toni berdesak-desak dengan gesit mendekat. Andi memegang buah dadaku dan menjelaskan bahwa ini adalah buah dada yang sehat dan terpelihara baik katanya sambil meremas, dan katanya, "Nah kamu coba pegang dan remas-remas! Herman kamu perah yang sini dan Toni kamu coba kekenyalan yang satunya, kemudian gantian dan bandingkan." Mata mereka jalang sekali dan kedengaran desah nafas mereka yang sudah tak beraturan. Aku sendiri begitu diremas Andi tak sadar mendesah enak. Dan seketika kedua anak itu rebutan meremas-remas kedua buah dadaku, dan banjirlah cairan di vaginaku.

"OK.. OK.. sudah sudah cukup!" seru Andi, "Sekarang lihat ini, ini adalah puting susu dan di sekitarnya ini disebut aerola," katanya sambil memelintir putingku ke kiri dan kanan, aku menggelinjang geli. "Ini kalau sehat akan bereaksi bila disentuh atau dirangsang sehingga mengeras," lanjutnya. "Nah coba kamu pegang puting seorang satu ya... dan pelintir seperti ini!" katanya sambil mencontohkan dijepitnya puting susuku di antara jempol dan jari telunjuknya dan diputarnya putingku. Aduh seketika aliran syarafku ke vagina tambah enak rasanya. Vaginaku terasa kuyup dan mengalir ke sisi pahaku. Celana dalamku tak dapat menampung lagi cairan itu. Herman memelintir puting susu kiri dan Toni di buah dada kananku. Aku tak sadar kakiku sudah mengempit dan bergoyang-goyang menahan rasa geli dan pinggulku bergeser-geser di ranjang. Andi sendiri memperhatikan kedua anak itu praktikum di puting susuku dan keduanya asyik sekali. Diremasnya vaginaku dari luar celana dalam sehingga aku sudah kehilangan sadar dan rasa malu. Gelinjang-gelinjangku sudah seperti kuda liar.

"Andi... Andi... ooohh... Gila kalian ayo dongg..." Pelintir-pelintiran tangan Tony dan Herman masih terus dan mereka seperti anak kecil dapat mainan. "OK OK, stop dulu!" muka keduanya kecewa dan mereka menurut sekali. "Sekarang kita beralih ke bagian sini," katanya sambil meremas vaginaku. Aku senang sekali serasa akan mendapat pelepasan. Mereka semua jelas-jelas sudah ereksi penisnya tapi masih menahan diri. Sebenarnya aku yang sudah tidak tahan ingin sekali vaginaku dimasuki batang panas dan aku gembira sekali membayangkan ada 3 penis panas. "Ini namanya vagina," kata Andi sambil meremas-remas terus dari luar CD-ku yang sudah kuyup. "Mas Andi, kenapa kok basah gitu sih?" tanya Toni dengan polos sambil agak bergetar dan parau suaranya. "Oh ini," kata Andi sambil memegang depan CD-ku. "Ini biasa kalau wanita sedang birahi maka akan keluar cairan-cairan seminal seperti ini. Dan maaf Mbak Etty, saya turunkan ya celananya!" Lagi aku tak bisa menjawab kelu lidahku dan aku hanya manggut cepat dan kuangkat pantat dan pinggulku. Andi menyelipkan tangannya ke samping CD-ku dan menariknya turun, seketika terbukalah vaginaku dan Herman maupun Toni tambah besar saja belalak mata mereka.

Andi mengelus-elus vaginaku dan mengatakan, "Ayo kalian pindah ke sini dekat paha Mbak Etty biar jelas," katanya. Nafas Andi pun mendengus-dengus, aku rasa kalau dibiarkan ia sudah mau menancapkan penisnya ke dalam lubangku. Andi menjepitkan jarinya pada bibir vaginaku yang tebal, empuk panas dan menyibak bibir vaginaku dan menariknya keluar, "Nah ini namanya labia, bibir vagina," kata Andi. "Coba kalian rasakan, dielus-elus seperti ini!" katanya lagi. "Ahhh... nikmat sekali..." Herman dan Tony dengan gemetar memegang seorang sebelah dan menariknya. Kemudian mengelus-elus dengan ujung jari-jari mereka. Gila geli sekali, dan aku senang karena mereka serius dan semangat sekali (iya lah mana tidak semangat melihat vagina begitu cantik). Ada dua menit mereka menarik-narik pelan dan mengintip-intip dari dekat, dengus nafas mereka geli sekali kena pahaku di atas. Dan Andi menghentikan mereka. "OK, berikutnya perhatikan bentuknya ini," katanya sambil menyibak rambut kemaluanku yang sudah kuyup oleh cairan vaginaku. Aduh, itu cairan mengalir kemana-mana terasa sampai ke lubang duburku. "Ini adalah klentit atau klitoris," katanya sambil menarik kacangku yang sudah keras sekali. Di dorongnya keluar di antara kedua jarinya dan lihat...!" katanya lagi. "Ini kalau disenggol akan mengeras seperti ini." Dan dimain-mainkannya dengan ujung jarinya klitorisku itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...