Setelah tamat dari sekolah, aku mencoba merantau ke Jakarta. Aku berasal
dari keluarga yang tergolong miskin. Di kampung orang tuaku bekerja
sebagai buruh tani. Aku anak pertama dan memiliki seorang adik
perempuan, yang masih sekolah di SMP.
Aku ke Jakarta hanya
berbekal ijazah SMU. Dalam perjalanan ke Jakarta. Di Jakarta aku numpang
di rumah sepupu, yang kebetulan orangtuanya punya Usaha warteg. Dan
mereka sudah punya rumah sendiri, sepupuku yang terpaut usia 1 tahun
denganku sedang kuliah di salah satu PTS Jakarta selatan. Selain
berbekal ijazah yang nyaris tiada artinya itu, aku memiliki keterampilan
hanya sebagai supir angkot. Aku bisa menyetir mobil, karena aku di
kampung, setelah pulang sekolah selalu diajak Bapakku untuk narik
angkot. Aku menjadi keneknya, Bapak supirnya. Tiga tahun pengalaman
menjadi awak angkot, cukup membekal aku dengan keterampilan setir mobil.
Aku
hampir putus asa tatkala tinggal di Jakarta, karena setelah tinggal
tiga bulan aku belum juga dapat kerja. Aku malu kalau harus ngerepotin
Bude dan pakde ku. Yah walaupun aku tinggal gak hanya diam aja, aku ikut
Bantu-bantu di warteg.
Hingga Pada suatu hari, yakni hari selasa,
ketika aku sedang bantu-bantu di warteg, aku dipanggil Pakde yang
menawarkanku menjadi supir pribadi Bu Nani. Dia adalah bos pak Nuridin
yang biasa makan di warteg Pakdeku. Aku langsung menyanggupi tawaran
itu, dan segera ganti baju untuk ikut dengan pak Nuridin ke Rumahnya Bu
Nani. Ketika memasuki halaman rumah yang besar seperti istana itu,
hatiku berdebar tak karuan. Kami dipersilahkan duduk oleh seorang
pembantu muda di ruang tamu yang megah itu, tak lama kemudian muncul
seorang wanita yang tampaknya muda. Kami memberi hormat pada wanita itu.
Wanita itu tersenyum ramah sekali dan mempersilahkan kami duduk, Pak
Nuridin dipersilahkan kembali ke kantor oleh wanita itu, dan di ruangan
yang megah itu hanya ada aku dan dia si wanita itu.
"Benar kamu mau jadi supir pribadiku?", tanyanya ramah seraya melontarkan senyum manisnya.
"Iya Nyonya, saya siap menjadi supir nyonya.", jawabku.
"jangan panggil Nyonya, panggil saja saya Ibu Nani.", sergahnya halus.
Aku mengangguk setuju.
"Kamu masih kuliah ?"
"Tidak nyonya eh...Bu?!", jawabku.
"Saya baru tamat SMU, tapi saya berpengalaman menjadi supir sudah tiga ahun", sambungku.
Wanita
itu menatapku dalam-dalam. Ditatapnya pula mataku hingga aku jadi slah
tingkah. Diperhatikannya aku dari atas sampai ke bawah.
"Kamu masih muda sekali, ganteng, nampaknya sopan, kenapa mau jadi supir?" tanyanya.
"Saya butuh uang untuk kuliah Bu", jawabku.
"Baik, saya setuju, kamu jadi supir saya, tapi harus ready setiap saat. Gimana, okey?"
"Saya siap Bu.", jawabku.
"Kamu
setiap pagi harus sudah ready di rumah ini pukul enam, lalu antar saya
ke tempat saya Fitness, setelah itu antar saya ke salon, belanja, atau
kemana saya suka. Kemudian setelah sore, kamu boleh pulang, gimana
siap?"
"Saya siap Bu", jawabku.
"Oh... ya, siapa namamu?" Tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
Spontan aku menyambut dan memegang telapak tangannya, kami bersalaman.
"Saya Renal Bu, panggil saja saya Renal.", jawabku.
Dirumah
yang sebesar itu, hanya tinggal Ibu Nani dan Sonia anaknya yang berumur
8 tahun serta seorang pembantu yang bernama Iis, janda juga, suaminya
sudah meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan.
Setahun
berlalu tak terasa sudah memasuki tahun pertama aku kerja jadi supir bu
Nani. Dan di awal tahun pelajaran aku masuk ke PTS di Jakarta. Keakraban
dengan Bu Nani semakin terasa. Setelah pulang Fitness, dia minta
jalan-jalan dulu. Yang konyol, dia selalu duduk di depan, disebelahku,
hingga terkadang aku jadi kagok menyetir, tapi lama lama biasa.
Suatu
hari kami melakukan perjalanan ke puncak, bahkan sampai jalan-jalan
sekedar putar-putar saja di kota Sukabumi, hari sudah mulai gelap dan
kami kembali meneruskan perjalanan ke Jakarta. Ditengah perjalanan di
jalan yang gelap gulita, Bu Nani minta untuk berbelok ke suatu tempat.
Aku menurut saja apa perintahnya. Aku tak kenal daerah itu, yang kutahu
hanya berupa perkebunan luas dan sepi serta gelap gulita. Ditengah kebun
itu bu Nani minta aku berhenti dan mematikan mesin mobil. Aku masih tak
mengerti akan tingkah Bu Nani.
Tiba-tiba saja tangan BuMaya menarik lengaku.
"Coba rebahkan kepalamu di pangkuanku Nal?", pintanya.
Aku
menurut saja, karena masih belum mengerti. Astaga... setelah aku
merebahkan kepalaku di pangkuan Bu Nani dengan keadaan kepala menghadap
keatas, kaki menjulur keluar pintu, Bu Nani menarik kaosnya ketas.
Wow... samar-samar kulihat buah dadanya yang besar dan montok. Buah dada itu didekatkan ke wajahku. Lalu dia berkata:
"Cium nal Cium... isaplah, mainkan sayang...?", pintanya.
Baru
aku mengerti, Bu Nani mengajak aku ketempat ini sekedar melampiaskan
nafsunya. Sebagai laki-laki normal, karuan saja aku bereaksi,
kejantananku hidup dan bergairah.
Kupegangi tetek Bu Nani yang
montok itu, kujilati putingnya dan kuisap-isap. Tampak nafas Bu Nani
terengah-engah tak karuan, menandakan nafsu biarahinya sedang naik. Aku
masih mengisap dan menjilati teteknya. Lalu Bu nani minta agar aku
bangun sebentar.
Dia melorotkan celana trainingnya hingga kebawah
kaki. Bagian bawah tubuh Bu Nani tampak bugil. Samar-samar oleh sinar
bulan di kegelapan itu.
"Jilat Nal jilatlah, aku nafsu sekali, jilat sayang", pinta Bu nani agar aku menjilati memeknya.
Oh...
memek itu besar sekali, menjendol seperti kura-kura. Tampaknya dia
sedang birahi sekali, seperti puting teteknya yang ereksi. Aku menurut
saja, seperti sudah terhipnotis. Memek Bu Nani wangi sekali, mungkin
sewaktu di restauran tadi dia membersihkan kelaminnya dan memberi
wewangian. Sebab dia sempat ke toilet untuk waktu yang lumayang lama.
Mungkin disana dia membersihkan diri. Dia tadi ke toilet membawa serta
tas pribadinya. Dan disana pula dia mengadakan persiapan untuk
menggempur aku. Kujilati liang kemaluan itu, tapi Bu Nani tak puas.
Disuruhnya aku keluar mobil dan disusul olehnya. Bu Nani membuka bagasi
mobil dan mengambil kain semacam karpet kecil lalu dibentangkan diatas
rerumputan. Dia merebahkan tubuhnya diatas kain itu dan merentangnya
kakinya.
"Ayo Nal, lakukan, hanya ada kita berdua disini, jangan
sia-siakan kesempatan ini Nal, aku sayang kamu Nal", katanya setengah
berbisik.
Aku tak menjawab, aku hanya melakukan perintahnya, dan
sedikit bicara banyak kerja. Ku buka semua pakaianku, lalu ku tindih
tubuh Bu nani.
Dipeluknya aku, dirogohnya alat kelaminku dan
dimasukkan kedalam memeknya. Kami bersetubuh ditengah kebun gelap itu
alam suasana malam yang remang-remang oleh sinar gemintang di langit.
Aku menggenjot memek Bu Nani sekuat mungkin.
"Jangan keluar dulua ya? Saya belum puas", pintanya mesra.
Aku
diam saja, aku masih melakukan adegan mengocok dengan gerakan penis
keluar masuk lubang memek Bu Nani. Nikmat sekali memek ini, pikirku.
Lalu Bu Maya pindah posisi, dia diatas, dan bukan main permainannya,
goyangnyanya.
"Remas tetekku Nal, remaslah... yang kencang ya?", pintanya.
Aku meremasnya.
"Cium bibirku Nal..cium!"
Aku mencium bibir indah itu dan kuisap lidahnya dalam-dalam, nikmat sekali, sesekali dia mengerang kenikmatan.
"Sekarang isap tetekku, teruskan... terus... Oh... Ohhhh... Nal... Renal... Ohhh.... aku keluar nal... aku kalah..."
Dia mencubiti pinggulku, sesekali tawanya genit.
"Kamu curang... aku kalah", ujarnya.
"Sekarang gilirang kamu nal... keluarkan sebanyak mungkin ya?", pintanya.
"Saya sudah keluar dari tadi Bu, tapi saya tetap bertahan, takut Ibu marah nanti", jawabku.
"Oh Ya?... gila... kuat amat kamu?!", balas Bu Nani sambul mencubit pipiku.
"Kenapa Ibu suka main di tempat begini gelap?"
"Aku
suka alam terbuka, di alam terbuka aku bergairah sekali. Kita akan
lebih sering mencari tempat seperti alam terbuka. Minggu depan kita naik
kapal pesiarku, kita main diatas kapal pesiar di tengah ombak
bergulung. Atau kita main di pinggir sungai yang sepi, ah... terserah
kemana kamu mau ya Nal?"
Selesai main, setelah kami membersihkan
alat vital hanya dengan kertas tisue dan air yang kami ambil dari
jerikan di bagasi mobil, kami istirahat. Bu Nani yang sekarang tidur di
pangkuanku. Kami ngobrol panjang lebar, ngalor-ngidul. Setelah sekian
lama istirahat, kontolku berdiri lagi, dan dirasakan oleh kepala Bu nani
yang menyentuh batang kejantananku. Tak banyak komentar celanaku
dibukanya, dan aku dalam sekejap sudah bugil. Disuruhnya aku tidur
dengan kaki merentang, lalu Bu nani membuka celananya yang tanpa celana
dalam itu. Bu nani mengocok-ngocok penisku, mengurut naik-turun. Karuan
saja penisku semakin membesar dan membesar. Diisapnya penisku yang sudah
ereksi besar sekali, dimainkannya lidah Bu Nani di ujung penisku.
Setelah itu, Bu nani menempelkan buah dadanya yang besar itu di penisku.
Dijepitkannya penisku kedalam tetek besar itu, lalu di goyang-goyang
seperti gerakan mengocok.
"Giaman Nal? Enah anggak?"
"Enak Bu, awas lho nanti muncrat Bu", jawabku...
"Enggak apa, ayo keluarkan, nanti kujilati pejumu, aku mau kok!"
Bu
nani masih giat bekerja giat, dia berusaha untuk memuaskan aku. Tak
lama kemudian, Bu nani naik keposisi atas dan seperti menduduki penisku,
tapi lobang memeknya dimasuki penisku. Digoyang terus... hingga aku
merasakan nikat yang luar biasa. Tiba-tiba Bu nani terdiam, berhenti
bekerja, lalu berkata:
"Rasakan ya Nal? Pasti kamu bakal ketagihan."
Aku
membisu saja. dan ternyata Ohh... memek Bu nani bisa melakukan gerakan
empot-empot, menyedot-nyedot dan mengurut-urut batang kontolku dari
bagian kepala hingga ke bagian batang bawah, Oh... nikmat sekali, ini
yang namanya empot ayam, luar biasa kepiawaian Bu nani dalam bidang
seksual.
"Enak sayang?", tanyanya.
Belum sempat aku menjawab, yah... aku keluar, air maniku berhamburan tumpah ditenga liang kemaluan Bu nani.
"Itu yang namanya empot-empot Nal, itulah gunanya senam sex. Berarti aku sukses latihan senam sex selama ini", katanya bangga.
"Sekarang kamu puasin aku ya ?", Kata Bu nani seraya mengambil posisi nungging.
Kutancapkan lagi kontolku yang masih ereksi kedalam memek Bu Nani, Ku genjot terus.
"Yang dalam Nal... yang dalam ya... teruskan sayang...? oh....enak sekali penismu... oh... terus sayang ?!" Pinta Bu Nani.
Aku
masih memuaskan Bu Nani, aku tak mau kalah, kujilati pula lubang
memeknya, duburnya dan seluruh tubuhnya. Ternyata Bu Nani orgasme
setelah aku menjlati seluruh tubuhnya.
"Kamu pintar sekali Nal? Belajar dimana?"
"Tidak bu, refleks saja", jawabku.
Sebelum
kami meninggalkan tempat itu, Bu Nani masih sempat minta satu adegan
lagi. Tapi kali ini hanya sedikit melorotkan celana trainingnya saja.
Demikian pula aku, hanya membuka bagian penis saja. Bu Nani minta aku
melakukanya di dalam mobil, tapi ruangannya sempit sekali. Dengan susah
payang kami melakukannya dan akhirnya toh juga mengambil posisinya
berdiri dengan tubuh Bu Nani disandarkan di mobil sambil mengangkat
sedikit kaki kanannya.
Sejak saat malam pertama kami itu, aku dan
Bu Nani sering bepergian keluar kota, ke pulau seribu, ke pinggir
pantai, ke semak-semak di sebuah desa terpencil, yah pokoknya dia cari
tempat-tempat yang aneh-aneh. Tak kusadari kalau aku sebenarnya menjadi
gigolonya Bu nani. Dan beliau pun semakin sayang padaku, uang mengalir
terus ke kocekku, tanpa pernah aku meminta bayaran. Dia menyanggupi
untuk membiayai kuliah hingga tamat, asal aku tetap selalu bersama Bu
Nani yang cantik itu.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar