Selasa, 25 September 2012

CERITA DEWASA WANITA JILBAB : ROKHIMAH

CERITA DEWASA WANITA JILBAB : ROKHIMAH, Cerita ini adalah yang benar-benar terjadi dan aku menceritakan ini bukan untuk bualan semata. Berhati-hatilah dengan apa yang kau inginkan karena itu sangat mungkin akan terjadi. Mungkin itu adalah pelajaran yang paling bisa kupetik dari petualangan bercintaku yang satu ini. Ini adalah kisah nyata tentang perjalanan hidupku. Tidak ada kebohongan di dalamnya meskipun identitas dari semua pelakunya aku sembunyikan.Namaku Soberun, tinggal di Batang sebuah kota kecil Jawa Tengah. Dulu, beberapa tahun yang lalu, saat aku masih begitu bangga dengan koleksi wanita-wanita hasil buruan libidoku, aku merasa ada yang kurang di sana. Di antara para wanita itu tidak ada satu pun yang bisa mewakili pencapaian tertinggiku. Perburuan libido adalah sebuah dosa dan untuk mendapatkan pencapaian tertinggi maka aku perlu seseorang yang perawan murni yang benar-benar suci. Aku tidak ingat benar di mana aku menulis keinginanku itu tapi aku yakin aku pernah menulisnya. Namanya adalah Rokhimah. Seorang perawan murni, baru berumur 23 tahun dan cantik luar biasa. Dan dia adalah seorang santri tulen. Anak seorang kyai terkenal di daerahku. Dia dididik di lingkungan muslim yang ketat dan taat. Keluarganya tak pernah memasukan dia ke pendidikan negeri dan lebih memilih Madrasah yang bernuansa Islam. Selama hidupnya ia habiskan di pondok pesantren termasuk juga pondok pesantren milik ayahnya. Dalam sehari semalam shalatnya bisa lebih dari empat puluh kali. Puasa, wirid dan mengaji adalah makanan sehari-harinya. Bahkan menyentuh kulit seorang yang bukan muhrimnya adalah hal terlarang baginya. Namun toh, ia takluk di hadapanku. Aku adalah lelaki yang mengambil keprawanannya. Lebih buruk lagi, ia adalah gadis ke tujuh yang keperawanannya aku ambil …Pertemuan kami diawali saat kami bertemu di toko milik keluargaku. Saat itu dia hendak membelikan sepatu baru untuk adiknya. Karena pada saat itu pegawaiku tengah tidak berada di tempat maka terpaksa aku yang melayani. Saat itulah aku melihat sosoknya, sosok yang begitu indah; cantik dalam balutan jilbab lebar yang rapi. Matanya bening dengan garis mata yang hitam dan bibirnya merah sempurna seperti buah cherry. Wajahnya memancarkan sinar yang begitu anggun. Ada sebuah kedamaian yang menyelimuti hatiku saat aku melihat sinar wajah itu. Dan pada saat mata kami bertemu aku tahu ada ruang di dalam hatinya khusus buatku.Pertemuan kedua terjadi beberapa minggu kemudian. Saat itu aku tahu ia bernama Rokhimah anak seorang Kyai yang disegani di daerahku. Seorang teman masa kecilku mengingatkan padaku untuk menjaga jarak dengannya, bukan karena background keluarganya, tapi karena ternyata ia pernah mengidap TBC dan itu sangat menular. Tapi percayalah, pada saat kau melihatnya, kau pun akan merasakan apa yang aku rasakan. Perasaan ragu-ragu itu sirna dan digantikan perasaan yang lain. Bukan perasaan percaya namun lebih mendekati perasaan nekat. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, begitu pikirku saat itu. Setelah itu kami pun berkenalan dan saling bertukan nomer hp.Semenjak pertama melihat matanya aku tahu Rokhimah pun sebenarnya tertarik padaku. Karena dasar tersebut maka komunikasi kami berjalan sangat lancar bahkan sangat berani. Aku memanggil dia “istriku” dan dia memanggilku “suamiku”. Lalu, masih melalui sms, aku menembaknya dan dia pun setuju jadi pacarku. Aku tak ingat benar ia pacarku yang nomer berapa karena sudah terlalu banyak yang aku jadikan pacar sebelumnya meskipun pacar yang benar-benar aku cintai hanya beberapa saja. Kebanyakan dari pacar-pacarku yang sebelumnya hanyalah pelampiasan libidoku saja.Beberapa hari kemudian aku bertandang ke rumahnya. Aku ingat benar saat itu lampu mati (thanks PLN sudah melancarkan jalanku-ternyata ada gunanya juga kau sering mati). Sesampainya di rumah Rokhimah aku baru tahu kalau rumah dia ternyata adalah sebuah pesantren. Itu adalah pertama kalinya dalam hidupku aku masuk ke lingkungan pesantren. Orang-orang di daerahku kebanyakan gentar masuk ke pesantren yang memiliki reputasi penuh wibawa ini namun yang timbul di hatiku adalah perasaan penuh gairah akan sebuah pengalaman baru. Saat itu hari sudah malam, kegiatan mengaji sudah selesai. Yang terdengar hanya sunyi dan aura mistis mengelilingiku. Aku duduk di atas karpet, karena aku tak melihat ada set kursi tamu di sana, ditemani Rokhimah di sampingku dan lampu minyak yang redup di antara kami berdua. Sambil terus memperhatikan sekelilingku aku berpikir, “Oh, ini kan yang namanya Pesantren. Asyik juga.” Jujur aku menyukai suasana itu karena mengingatkan pada suasana surau di desaku saat masa kecilku. Saat itu aku dan teman-teman sepermainan masa kecilku sering tidur di surau tersebut. Suasananya yang gelap, dingin, sunyi dan mistis tidak membuatku takut tapi justru memicu kenangan masa kecilku. Ada perasaan haru yang mendalam di hatiku saat itu. Surau tersebut kini telah menjadi mesjid besar dan hingar bingar oleh banyak kepentingan.Ternyata orang tuanya menyambutku dengan sangat gembira. Setelah sebentar berbasa-basi bapaknya meninggalkan kami berdua, sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan karena malanggar aturan agama-membiarkan seseorang berduaan dengan yang bukan mukhrimnya. Lalu di dalam kegelapan itu aku rasakan tangan Rokhimah memegang tanganku. Entah mantra apa yang ada di tangan itu namun pada saat itu aku merasakan sebuah keindahan luar biasa. Ada perasaan bau harum menyeruak ke dalam pembau dalam hatiku.


Pada saat itulah aku mulai ingin mencumbunya. Namun itu sangatlah tidak mungin. Akal sehatku seakan menguap hingga aku memberanikan diri mengusulkan untuk menikah siri – tujuanku satu; ingin meniduri Rokhimah secepat mungkin! Tiba-tiba lampu menyala ( PLN sialan !) hingga kami segera melepaskan gandengan tangan kami. Karena waktu telah beranjak malam, akhirnya aku pun pamit pulang tanpa bisa mencumbunya sama sekali.Sesampainya di rumah akal sehatku mulai kembali dan aku memaki dalam hati, “fuck! What have I done! Aku melamarnya untuk nikah siri?! Fuck!” Tapi mulutku adalah harimauku, kata yang telah terucap tak akan bisa ditarik lagi. Rokhimah menceritakan tentang usulan nikah siri tersebut yang ternyata disambut gembira keluarganya. Tapi dengan dalih untuk mengejar karir akhirnya aku bisa mementahkan harapan mereka ( yang juga adalah kebodohanku). Syukurlah akhirnya mereka bisa menerimanya. Namun tetap saja kejadian itu memberi keyakinan pada keluarga Rokhimah akan kemantapanku pada anak mereka.Pertemuan berikutnya adalah pertemuan yang sungguh mengejutkan. Dengan alasan bahwa ruangan yang sebelumnya aku dan Rokhimah pakai untuk bertemu ternyata adalah ruang para santri mengaji maka aku dipersilahkan oleh Rokhimah dan keluarganya untuk masuk ke kamar pribadi Rokhimah! Glek! Yang benar saja! Namun meskipun dengan banyak
ketidakmengertian di kepalaku aku menurut saja. Lalu aku dan Rokhimah berdua berada di kamarnya yang bersebelahan persis dengan aula mengaji para santri. Perasaanku tak menentu saat itu. Aku merasakan akan adanya sesuatu yang akan terjadi. Benar saja, beberapa menit kemudian bapaknya masuk dan segera duduk di hadapanku. Lalu ia bertanya padaku, “Apakan Anak mau benar-benar dengan anak saya?” Wek! Apa lagi ini? Pikirku. Pertanyaan macam apa ini? Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang Pak Kyai tanyakan. Di sela-sela kebingunganku aku bisa merasakan bahwa aku tidak mungkin menjawab “tidak” makan aku jawab saja, “iya” meskipun tidak sekaku itu. Yaa, sedikit berdiplomasi lah; panjang lebar namun tidak jelas, itulah diplomasi. Bapak Kyai manggut-manggut saja. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya namun beberapa saat kemudian ia meninggalkan kamar kami sambil tersenyum dan berkata, “iya, silahkan diteruskan.” Lalu Pak Kyai menghilang di balik tirai.Dan tinggal kami berdua, aku dan Rokhimah, di kamar itu. Keheranan dan kebingunganku segera lenyap saat Rokhimah kembali menggenggam tanganku. Dengan memakai baju panjang warna krem dan jilbab warna coklat ulihat dia tersenyum bahagia sekali. Dia tidak tahu kalau senyum itu memicu reaksi kimia di dalam sistem tubuhku; libido! “Apa Mas benar-benar mau jadi suamiku?” Rokhimah bertanya. Lalu aku jawab, dengan otak dikendalikan libido, sekenanya, “aku ingin siapapun yang jadi istriku harus masih perawan tulen! Mana mungkin aku tahu kau masih perawan atau bukan kalau tidak dites dulu.” Rokhimah mendelik kaget, “tidak ! tidak! Aku hanya akan menyerahkan keperawananku dengan cara yang halal!” Lalu terjadilah adu argument dengannya. Cukup lama dan rumit, tapi aku yang dulunya aktif sebagai remaja mesjid tentu saja dapat dengan mudah mematahkan logika-logikanya. Plus lagi aku sudah banyak makan asam garam sebagai dalam dunia perburuan cewek seperti itu. Gampang saja aku meng-infiltrasi keyakinanku di atas keyakinan miliknya. Begitu dasar logika seorang cewek sudah kudapat, maka sesungguhnya aku telah mendapatkan cewek itu seutuhnya. Hanya masalah waktu saja sampai aku dapat menerobos bunga miliknya.Benar saja, di akhir perdebatan halus kami, akhirnya Rokhimah menggandeng tanganku dan tak dinyana-nyana mengarahkannya ke payudaranya! Got you! Aku bersorak dalam hati. Lalu dengan halus aku meremas dari luar baju dan jilbabnya. Payudaranya memang masih keras dan sangat nikmat diremas seperti itu. Aku bisa merasakan bahwa berlahan Rokhimahpun mulai bisa menikmatinya namun aktifitas itu harus aku lakukan terputus-putus karena pintu kamar masih terbuka dan hanya dititipi selembar tirai saja. Kegiatan yang terpututs-putus itu ternyata membuat Rokhimah gemas. Maka ia berdiri dan…ehem, menutup dan menguncinya! Ibarat traffic light, tidak ada lampu kuning atau merah; hijau semuanya!! Aku mulai masuk ke dalam bra miliknya dan mulai meremasnya dengan tangan kosong. Tidak ingat benar, tapi sepertinya malam itu juga Rokhimah dengan berani menaikkan bajunya dan melepaskan bra di hadapanku. Ketika dia hendak melepas jilbabnya, aku melarangnya. “Jangan dilepas Mah ... km keliatan anggun kalau masih pakai jilbab” Dia hanya tersenyum. Payudara yang tak pernah tersentuh sama sekali itu malam itu adalah milikku sepenuhnya!Waktu pun berjalan. Setiap kali kami bertemu aku selalu langsung dipersilahkan masuk ke dalam kamar pribadi Rokhimah. Tunggulah beberapa saat sampai minuman disuguhkan lalu Pak Kyai masuk untuk bersalaman. Beberapa menit kemudian Istrinya membukat tirai dan tersenyum sambil mempersilahkanku. Terakhir Rokhimah akan segera menutup dan menguncinya rapat-rapat. Selalu berjalan dengan pola seperti itu. Bila keadaan sudah terpenuhi seperti itu maka privasi adalah milik kami berdua. Dengan halus namun rakus aku menjelajahi tubuhnya dari sela-sela baju dan jilbabnya. Seperti Colombus yang menjelajahi samudra untuk menemukan dunia baru, aku pun menjelajahi tiap jengkal kulitnya untuk menemukan sumber dunia baru yang hitam dan belum terjamah. Bila dulu Colombus masih belum tahu pasti di mana dunia baru itu, aku malah sudah tahu persis ke mana tujuanku berlabuh. Namun betapa kagetnya aku saat aku sampai du dunia baruku yang awalnya kukira ditumbuhi belantara lebat dan hitam, yang kudapati adalah sebuah dunia baru yang gundul, merekah merah dan beraroma harum sabun! Dan aku pun terjatuh dalam kegilaan. Akal sehatku pergi entah kemana. Malam ini kuberi Rokhimah sesuatu yang awalnya ia pikir jauh berada di atas awan; kuberi dia surga. Seperti pasukan pemandu sebelum datangnya pasukan inti, lidahku menjelejahi tiap jengkal dunia baru itu.Beberapa pertemuan berikutnya kuberi ia pelayanan yang sama dan terus meningkat. Kuajari dia teknik bercinta hingga pelan namun pasti Rokhimah pun mulai menjadi ahli. Ia tahu titik-titik kesukaanku. Lidahnya menjalar dari puting dadaku hingga penisku. Di sana ia tak ragu lagi untuk membenamkan penisku ke dalam mulutnya. Dengan gerakan halus dan begitu mengesankan ia memberi pelayanan oral yang sangat hebat. Ia menuruti semua keinginanku hingga saat aku minta agar aku ejekulasi di mulutnya pun ia tak menolaknya. Dengan kasih sayang dia lap sperma yang masih di penis ku dengan jilbabnya. Kini ia tak sungkan lagi untuk membuka bajuku juga bajunya sendiri. Ia pun tak sungkan lagi memintaku untuk melakukan apa yang ia inginkan aku lakukan terhadap bagian-bagian tubuhnya. Seringkali saat dalam keadaan santai dan tengah bercanda, ia tertawa-tawa sambil mencubit penisku. Aku pun membalas dengan meremas payudaranya dan bagian vaginanya.Aku merasa sudah saatnya masuk ke level berikutnya. Aku mulai hendak memasukkan penisku. Awalnya ia meberontak karena takut hamil. Namun sekali lagi kupatahkan logika itu. Setelah ku ulur waktuku dan terus memberinya kenikmatan sambung raga itu, akhirnya ia pun luluh. Inilah kekuatan terbesarku yang paling ditakuti oleh semua wanita-wanita yang kutaklukan; kesabaranku. Dengan sabar dan terus menerus, berlahan-lahan Rokhimah keluar dari dunianya dan masuk ke dalam duniaku. Aku mulai dengan halus mencoba memasukan penis milikku. Dengan hanya memakai jilbab di kepalanya kusodok vagina suci anak kyai ini. Rokhimah pun menyerah dan pasrah. Satu-satunya penghalangku hanya rasa sakit yang ia derita. Namun aku mengerti, aku pun tidak memaksanya.Bulan Ramadhan pun tiba. Rokhimah menyarankan aku datang setelah waktu shalat Tarawih selesai. Itu yang berarti melanggar jam malam yang ditentukan di pesantrennya. Diam-diam aku mengeluh. Perasaan menyesal mulai masuk ke dalam hatiku, betapa aku telah menariknya, Rokhimah yang anggun dan suci ke dalam duniaku yang gelisah dan panas. Namun aku segera menampik perasaan itu. Hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai aku mencapai tujuanku. Fokus!Selama bulan Ramadhan itu kami pun terus melakukan hubungan bercinta tersebut. Selama itu pula aku terus mencoba melengkapi persetubuhan kami. Hingga pada suatu hari, Rokhimah mengirim pesan agar aku datang sore saja saat Shalat Tarawih masih berlangsung. Meskipun agak ragu tapi aku menurut saja. Sesampainya di pesantren, aku harus menunggu para makmum melakukan sujud dan secepat kilat aku masuk ke dalam kamar Rokhimah (Kamar Rokhimah berada persis di samping aula mengaji para santri yang juga digunakan untuk shalat berjamaah). Dia masih memakai rukuh putih bersih. Dengan bernafsu kulucuti rukuhnya. Ternyata di baliknya dia masih memakai baju panjang warna hijau dan jilbab lebar warna hitam. Dengan agak kasar kulucuti baju panjangnya hingga ada kancingnya yang lepas. Namun aku masih meninggalkan jilbab lebar hitam di kepalanya. Lalu kami pun mulai bercinta lagi dan kali ini Rokhimah sepertinya sudah siap. Maka dengan mantap aku masukkan penisku ke dalam rongga kewanitaanya. Rokhimah berteriak tertahan dan secara reflek ia menjauh namun aku tahan. Aku peluk dia dalam-dalam dan menyalurkan rasa sayang melaluinya. Di dekat telingaku Rokhimah membaca ayat-ayat suci yang ia percaya bisa melindunginya dari kekuatan jahat. Lama-lama Rokhimah pun mulai tenang. Kemudian, dengan lembut dan pelan, aku mengulanginya lagi…dan lagi…dan lagi. Tubuhnya terguncang-guncang mengikuti ayunan tubuhku. Kupandangi wajahnya yang terbalut jilbab warna hitamnya. Keningnya mengernyit ... bibir mengeluarkan desahan-desahan lirih. Menggairahkan sekali. Kusingkap jilbab lebar yang menutupi payudaranya. Kuciumi putingnya dengan nafsu. Kadang-kadang kujepit dengan bibirku. Dia semakin mendesah-desah. Keringat membanjiri tubuh kami. Di sela-sela gumam para santri yang tengah Shalat Tarawih di luar kamar, malam itu Rokhimah jadi milikku seutuhnya…Tentu saja aku tak pernah jujur pada Rokhimah yang sebenarnya. Bahwa dia hanyalah sebagai pelampiasan libidoku. Pada saat itu aku memandang Rokhimah memang hanya pelampiasan nafsu biologisku saja. Dan tampaknya dia juga menikmati pelayanan yang aku berikan padanya. Ya, aku sangat mengerti. Dari umurnya yang masih muda dia memang sedang dalam kondisi paling siap untuk bereproduksi. Seluruh sistem tubuhnya memang dirancang untuk tujuan tersebut. Bahkan sering kali aku yang kualahan menghadapinya. Aku selalu berusaha mengimbanginya sekuatku. Namun semenjak aku berhasil mendapatkan Rokhimah sepenuhnya, aku merasakan alam dalam hatiku berubah. Seakan-akan aku diliputi oleh kebisuan yang teramat pekat dan hari-hari berubah menjadi kelabu. Ada sebuah kesedihan yang mulai muncul. Sebagai orang yang suka menganalisa keadaan, aku segera terkesiap dengan perubahan ini. Tanda ini apa maksudnya? Dan jawabanku tertuju padanya. Sering kali aku melihat Rokhimah dalam-dalam. Aku tahu, sesuatu yang Rokhimah tidak tahu, aku tengah memasuki masa kritis.Masa kritis adalah sebuah masa di mana kita, siapapun dari kita, tengah dipertanyakan kembali “hendak kemanakah kita melaju?” dan untuk menjawab pertanyaan itu maka aku perlu melihat ke dalam diriku sendiri “siapakah diriku?” artinya ini mengenai jati diriku yang sebenarnya. Aku mendekati Rokhimah adalah untuk kepuasan nafsuku saja dan telah kudapatkan itu. Aturannya adalah bahwa aku harus secepatnya membuat rencana untuk meninggalkannya. Pertanyaan yang muncul seharusnya “apa yang harus aku katakan padanya untuk meninggalkannya?” Alih-alih mendapat pertanyaan itu, yang muncul di kepalaku justru pertanyaan lain yang cukup mengejutkan, “kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tak segera beranjak pergi?” dan aku segera menyadari jawabannya.Hari-hari pun berlalu. Selalu saja, pada malah hari, aku sempatkan diriku untuk datang ke pesantren. Aku putuskan untuk datang pada malam hari saja, melewati jam malam. Keuntungan bagi keluarga Rokhimah adalah tidak menarik perhatian para santri yang lain. Sementara keuntunganku adalah bahwa kedatanganku pada malam hari tidak menarik perhatian lingkungan. Simbiosis mutualisme. Namun alasan paling mendasar adalah bahwa sebisa mungkin orang tua ku tidak mengetahui hubungan kami. Karena aku yakin mereka tidak akan menyetujuinya. Rokhimah berasalah dari keluarga muslim yang taat, sementara keluargaku lebih liberal. Pendidikan terakhir Rokhimah hanyalah MTs (setara SMP) sementara keluargaku mengisyaratkan untuk mencari yang paling tidak S1. Aku punya pekerjaan yang bagus dengan jenjang karir yang cerah, sementara ketrampilan Rokhimah adalah di bidang keagamaan yang kita tahu cukup sulit untuk mencari makan pada masa-masa sekarang. Dan kutemui diriku terjebak dalam kondisi yang sangat dilematis. Apakah aku harus memilih mengikuti orang tua atau Rokhimah padahal benih-benih cinta mulai bersemi di dalam diriku padanya.Sebagian besar dari diriku lebih memilih keluargaku. Tentu saja begitu karena bagiku keluarga adalah nomer satu. Mereka adalah rumah di mana aku selalu disambut dengan bahagia dari manapun aku pergi. Betapapun beban yang kuderita selama aku dalam perantauan, mereka selalu menginginkan aku untuk kembali. Ya, kadang mereka marah padaku namun pada akhirnya aku mulai mengerti bahwa kemarahan mereka adalah karena cinta. Pada saat aku menghitung lima langkah di depanku, misalnya, mereka telah menghitung seratus langkah di depanku. Itulah yang membuat kami kadang berbeda pendapat. Namun seberapapun berbedanya pendapat kami, seberapapun kami dulu terlihat saling menyakiti sebenarnya itu hanya masalah bahwa kami tidak mampu mengungkapkannya dengan bahasa yang lebih benar; kami tidak bisa mengungkapkan bahwa sesungguhnya kami saling menyayangi. Aku memiliki banyak teman dan mereka kadang menyarankan aku untuk melakukan ini dan itu. Keluargaku pun demikian, sering mereka menyuruhku untuk melakukan ini dan itu. Namun bila kuperhatikan lebih jauh, mereka, teman-temanku, bila menyarankan sesuatu sering kali adalah untuk kepentingan tersembunyi mereka sendiri. Begitu tersembunyinya hingga kadang mereka tidak menyadarinya. Di sisi lain, mereka, keluargaku bila menyuruhku melakukan sesuatu, kini aku percaya, adalah murni untuk kebaikanku sendiri.Sering kali, bila kami telah selesai bercinta, setelah dihajar beban pekerjaan yang berat aku langsung tertidur. Sementara Rokhimah dengan sabar memijit kaki dan tanganku. Pijatan itu sering membangunkanku dan kudapati Rokhimah di sampingku. Dengan sabar ia terus berusaha membuatku nyaman. Oh, Rokhimahku yang baik, kau tidak tahu apa yang ada di dalam kepalaku. Kau tidak mengerti apa yang kumengerti – bahwa detik-detik ini adalah sangat berharga karena kita tengah menuju ke perpisahan kita. Rokhimahku yang malang tak bergeming dan terus memijatku. Ia tak mendengar apa yang ada di hatiku. Tapi aku bisa melihat itu di matanya; aku melihat harapan. Ia pasti berharap agar suatu hari nanti aku akan datang menjadi suaminya. Aku yakin pasti bahwa dia selalu berdoa untuk kami berdua. Aku melihat harapan di matanya justru di kala aku menyadari kehancuran di hatiku. Ironis sekali.Rokhimah, maafkan aku …Suatu hari Pak Kyai menemuiku. Dan ia bertanya tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sangat bisa mengerti karena memang tidak terlalu baik membiarkan sepasang kekasih berpacaran terlalu lama. Agar tidak berbuat dosa, itu tujuannya. Dosa yang sebenarnya telah kami lakukan. Didera oleh perasaan letih fisik dan pikiran aku mencoba mengulur waktu hingga setelah Lebaran Idul Fitri. Pak Kyai, seperti biasa, manggut-manggut saja. Sampai saat ini aku tidak tahu pasti apa yang ada di kepalanya. Sebagai seorang Kyai yang berpengalaman dalam dunia supernatural dan religi, apa mungkin ia tahu apa yang ada di hatiku? Apa mungkin ia tahu apa yang telah aku dan Rokhimah lakukan? Aku tidak tahu. Tapi sejauh ini Pak Kyai tak mengatakan apa-apa. Lalu Pak Kyai tersenyum dan meninggalkan kami berdua. Seperti biasa kami pun bercinta, kali ini aku malas melepas bajunya. Dengan masih memakai baju muslimah dan jilbabnya aku genjot dia dari belakang dengan terlebih dahulu menyingkap CD nya kesamping. Desahannya yang halus dan sering menyebut nama Allah dia merintih. Aku hanya ingin cepat orgasme, dengan kasar kugenjot vaginanya yang sempit itu sekuat tenaga. Sambil kuciumi punggungnya yang tertutup jilbab lebar warna merahnya. Ketika hampir klimaks kusuruh dia jongkok dan mengoral penisku. Oooh ... nikmat sekali. Sperma ku menyembur ke wajahnya yang teduh. Memercik mengenai jilbab merag dan baju muslimah pinknya. Kembali jilbabnya harus menjadi pembersih spermaku yang tidak puas-puasnya menuntut kenikmatan dari santriwati alim ini. Dan aku mencoba tidur setelahnya. Namun yang kudapati adalah perasaan begitu gelisah menyerangku hingga aku pun tak bisa tidur nyenyak. Aku rasa Rokhimah tahu apa yang aku pikirkan. Ia terlihat sedih namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Malam itu aku pulang lebih cepat dari biasanya.Sejak malam itu Rokhimah berubah. Ada kesedihan di dalam dirinya. Sepertinya ia mulai tahu apa yang aku pikirkan; bahwa hubungan kami tak akan berakhir baik …Ia sering sms dan bertanya apa jadinya kalau orang tuaku tidak setuju dengan hubungan kami? Ia selalu bertanya pertanyaan yang sama. Sementara aku selalu tidak bisa menjawab pertanyaan yang sama tersebut. Hal itu membuatku marah. Marah pada diriku sendiri hingga aku mulai menjauh.. Berita tentang kedekatanku dengan Rokhimah ternyata sudah tersebar. Hal itu membuatku menjadi lebih geram namun mencoba mengerti bahwa itu adalah proses yang alami. Akhirnya aku memilih untuk tidak mencari kambing hitam. Fokus! Lalu pada suatu hari aku, entah apa yang kupikirkan saat itu, aku kembali datang ke pesantren dan menemui Rokhimah. Dengan pola yang hampir sama aku pun masuk ke kamar pribadi Rokhimah. Namun saat berpapasan dan bersalaman dengan Pak Kyai, aku merasakan ada sesuatu dirinya yang berbeda. Sesuatu yang cukup membuat hatiku berdesir gentar. Ada apa? Apa yang ia ketahui?Malam itu Rokhimah memakai baju besar berwarna putih gading dengan jilbab hijau yang sangat indah. Wajahnya yang terlihat cukup layu itu masih bersinar-sinar meskipun tidak sebening dulu saat pertama bertemu. Dulu aku punya keinginan untuk bercinta dengannya saat dia mengenakan baju seperti itu, sehingga persetubuhan kami dilakukan dengan dia tetap memakai baju muslimahnya, setidak-tidaknya hanya memakai jilbab. Namun malam itu Rokhimah menolak untuk bercinta. Malam itu pertama kalinya kulihat ia benar-benar menangis di dadaku. Aku yang marah karena hasrat biologis yang tak tersalurkan pun tergetar oleh tangis tersebut. Lalu ia berkata bahwa ia sebenarnya sudah lama ingin menghentikan semua dosa ini namun tiap kali ia melihat wajahku ia merasa iba. Namun kali ini ia harus benar-benar kuat meskipun seluruh tubuhnya menginginkan untuk dijamah. Aku mencoba mengerti; aku telah menariknya dari dunia yang telah memebesarkannya yaitu dunia religi yang kuat dan taat. Namun kemudian aku meninggalkannya. Pada saat itu dia pasti kebingungan sekali karena dunia baru yang ia percayai ternyata telah mengkhianatinya. Dan tak ada dunia lain yang ia kenal kecuali dunianya yang lama; yaitu dunia pesantren dan religi. Maka ia pun pulang ke sana. Dan saat itu aku menemukan dia sebagai Rokhimah yang hampir seperti yang dulu lagi – Rokhimahku yang suci.Berita tentang kedekatan kami akhirnya sampai juga di keluargaku dan seperti yang kuduga mereka menyatakan “tidak.” Aku mengerti dan aku menerimanya meskipun hati terasa cukup sedih. Mereka pasti berusaha yang terbaik bagiku. Maka aku mulai meninggalkan Rokhimah lagi.Beberapa hari yang lalu Rokhimah sms dan mengabarkan bila dia hendak pergi ke luar kota yang cukup jauh guna kembali belajar agama di pesantren di kota tersebut. Ia akan berada di sana selama satu tahun. Aku mendongak ke langit dan berkata ,”Inikah tanda-Mu?” namun langit sepi tak menjawab. Maka malam itu aku menemuinya (mungkin untuk yang terakhir kalinya ). Kulihat matanya bengkak karena banyak menangis. Tuhan, dosa apa yang telah kuberikan pada Makhluk suci-Mu ini? Keluhku dalam hati. Di kamar ia menunjukan foto tentang teman-temannya. Ia berusaha mengenalkan dirinya padaku (lagi). Sebuah hal yang membuatku miris; betapa selama ini aku telah begitu tidak peduli pada orang yang sangat mencintaiku. Kubiarkan ia melakukan yang terbaik baginya untukku dan aku menerimanya. Kutatap wajahnya yang cantik, bermata seperti telaga dan wajah yang bersinar seperti bulan itu dalam-dalam. Rokhimahku yang malang … desisku dalam hati dan aku tak mampu berpikir apa-apa lagi. Kami kembali bercinta malam itu, mungkin ada sedikit nafsu di sana namun sebagian besar adalah sebagai ucapan selamat tinggal yang tak terucap. Kali ini kulepas semua baju termasuk jilbabnya. Ketika aku ingin menganalnya dia menolak. “Dosa mas ... lagian sakit .....”. Aku tidak perduli. Dengan posisi menungging kuarahkan penisku ke anusnya. Dia menjerit lirih “Ohhhhh ... sakiitth ... dosaaa mass... ahhhkk” Perlahan-lahan penisku masuk. Kubiarkan sebentar sampai anusnya terbiasanya dengan penisku. Sambil menunggu ku korek-korek vaginanya yang sudah tidak rapat lagi dengan jariku. Kutekan-tekan itilnya, lalu kupilin-pilin lembut. Terdengar suara isak tangisnya. Aku tak perduli dan ingin cepat-cepat menuntaskan orgasmeku. Seperempat jam kemudian spermaku menyembur ke anusnya yang perawan itu. Kutindih tubuhnya dari belakang. Kuciumi rambut sebahunya. “Maafkan aku Mah .... aku khilaf tadi.Dia tidak menjawab sambil menyeka air matanya dia tersenyum. Kembali kami diam sambil aku masih menindih tubuhnya dari belakang.Pada saat aku hendak pulang, tidak seperti biasanya, Rokhimah tak menahanku. Ia tak lagi manja. Kulihat ia menjadi sangat tegar. Kupeluk dirinya dan ia balas memelukku dalam-dalam. Pelukan penuh kasih sayang yang selalu ia berikan namun bagiku itu adalah pelukan pertamaku yang sesungguhnya padanya. Saat aku hendak keluar, kami harus melewati dapur. Ia memanggil namaku, mencium tanganku dan kembali memelukku erat. Kurasakan dadaku bergetar dirajam emosi. Namun aku harus kuat karena kulihat Rokhimahpun sangat kuat malam itu. Tidak ada air mata yang jatuh sama sekali. Aku yakin ada kesedihan di hati kami masing-masing. Kami tak perlu mengungkapkannya karena kami yakin kami bisa mengerti satu sama lain.Pagi harinya aku mendapat sms dari Rokhimah yang mengatakan ia sedang dalam perjalanan. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan maka kubalas dengan jawaban prosedural saja, hati-hati di jalan, kataku. Siang harinya ia kembali mengirim kabar bahwa ia telah sampai di tujuan. Pada saat itu bahkan aku lupa membalas smsnya ! Bila kuingat kebodohanku saat itu, hatiku perih ditusuk penyesalan. Bahkan untuk sms terakhirnya pun aku tak membalasnya! Makhluk tak berguna macam apa aku ini !!!Rokhimahku yang suci, selamat jalan. Belajarlah dan jadilah manusia yang agung dan mulia. Sampai jumpa satu tahun lagi. Pada saat itu entah apa yang terjadi pada kita berdua, aku tidak tahu … aku benar-benar tidak tahu. Terima kasih atas cintamu padaku. Aku berharap aku bisa membalas cintamu dengan cara yang lebih pantas …Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...