Cerita ini bermula ketika aku ada janji dengan temanku bernama Irfan
(samaran) untuk membicarakan suatu organisasi. Disepakati sebuah tempat
yang mudah didapat yaitu café S yang terletak di sebuah plaza di kota
S. Rencana pertemuan ditentukan jam 2 siang, artinya setelah kami
sama-sama selesai kuliah.
Sebelumnya perlu pembaca ketahui,
namaku Sakti, sesuai dengan namanya, entah mengapa dalam setiap jenjang
pendidikan, aku selalu aktif berorganisasi dan selalu menempati posisi
puncak dalam organisasi yang kuikuti, mulai dari OSIS SMP, OSIS SMA,
Organisasi Pemuda dan kemasyarakatan (tidak perlu kusebutkan namanya),
hingga organisasi intra dan ekstra kampus, yaitu ketua Himpunan, Senat
dan lain-lain. Kegiatanku bertambah dengan semaraknya demonstrasi di
masa reformasi, hingga pernah suatu ketika aku menjadi target intai para
intel militer dan polisi. Padahal aku bukanlah termasuk sosok yang
spesial, wajahku biasa saja, kulit tidak putih mulus (cenderung coklat
gelap), badan sedang-sedang saja (170 cm), sehingga aku mengambil
kesimpulan mungkin karena otakku yang encer, pandai berorasi/pidato,
supel (walaupun tidak gaul).
Kembali ke cerita tadi, maka siang
itu aku segera berangkat ke plaza, berhubung masih pukul 1 lewat 15
menit, kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan jalan-jalan sambil
melihat-lihat barang yang dipajang di etalase. Sesekali aku melirik
setiap ada wanita cantik yang menarik perhatianku. Hingga pukul 2 kurang
5 menit, segera aku mengambil tempat di café S yang sengaja meja untuk
dua kursi karena hanya aku dan temanku yang akan bertemu. Namanya
mahasiswa, maka aku memesan yang ringan-ringan saja, secangkir java
cofee, begitu yang tertulis di menu hot cofee, walaupun rasanya masih
lebih sedap kopi buatan sendiri di tempat kost.
Oke, lima menit
aku menunggu dan kopi belum datang, pager-ku berbunyi (maklum baru mampu
bawa pager, dan itu penting bagi seorang aktivis seperti saya).
Sebenarnya aku malas untuk membaca pesan tersebut, tetapi karena tidak
ada yang kulakukan selain menunggu, maka kubaca saja pesan yang baru
masuk tadi, dan ternyata menambah kekecewaanku hari ini. Hari sial
batinku, Irfan minta maaf kalau pertemuan dibatalkan karena ia harus
menemui seorang dosen, dan aku mengerti untuk urusan yang satu itu,
tentu tidak dapat dibatalkan.
Tanpa kusadari, dari tadi
gerak-gerikku diperhatikan oleh dua orang wanita yang duduk terpaut dua
meja dari tempatku, dan mereka dapat melihatku dengan bebas, sementara
aku sibuk dengan pager-ku dan kopi yang baru saja datang dan terlambat
untuk dibatalkan, maka kuputuskan untuk menghabiskan dulu dan segera
pulang ke kost-ku.
Kejadian ini baru kuketahui ketika tiba-tiba
salah satu dari wanita tersebut sudah ada di hadapanku dan bertanya,
"Sedang menunggu teman ya Mas?"
Kata-kata klise untuk memulai pembicaraan (batinku), "Ya, dan Mbak sendiri?"
"Oh
saya sedang istirahat saja, habis belanja, maaf jam berapa ya Mas..
soalnya jam saya mati, lupa belum ganti baterai, di mana ya di plaza ini
ada service jam.."
"Wah pasti Mbak bukan orang dari kota ini ya..
karena plaza ini sudah tentu paling lengkap di kota S, apa saja ada di
sini, termasuk mmhh..(tadinya aku mau bicara wanita, biasa gaya orang
yang ceplas-ceplos, tapi buru-buru kupotong karena dia bertanya dengan
jujur)"
"Oh ya.. maaf nama saya Anggi, dan itu teman saya Rina", kata wanita tersebut sambil megulurkan tangan.
"Betul
saya baru datang dari B pagi tadi dan rencananya tinggal di kota S ini
untuk 3 hari, sambil menunggu acara nanti malam, saya sempatkan belanja
di plaza ini, karena hotel saya dekat, cukup jalan kaki saja."
"Sakti, dan saat ini sudah pukul 2.30."
Rupanya
percakapan yang singkat ini berlangsung 15 menit, bukan main, sebuah
perkenalan terlama bagiku, mungkin karena aku tidak terlalu bersemangat
atau ada sesuatu yang lain. Mmmhh.. ya, sesuatu yang lain itu mungkin
terlalu bermain di pikiranku. Maklum, otakku terkenal encer, sehingga
mudah menangkap sesuatu dengan cepat dan aku baru sadar bahwa selama
beraktivitas aku melupakan satu hal penting dalam hidup, wanita. Dan dia
kini hadir di hadapanku dengan penuh pesona. Hasil perhitungan (seperti
matematika), dengan cepat aku dapat membuat kesimpulan yang kuyakini
kebenarannya. Cantik, manis, umur 25-30 tahun, bentuk badan yang
seimbang, kira-kira 160-165 cm, dan.. wah aku belum pengalaman untuk
mengukur lebih jauh dari itu, aku bermain dengan lamunanku, pinggang dan
payudaranya bukan main.
Cukup waktu satu jam saja untuk
memperlancar diskusi dengan Anggi (sementara Rina hanya sesekali
menimpali) sambil kami mengambil jadi satu meja saja, dan aku yang rela
bergeser ke meja mereka. Satu jam yang berarti (aku jadi lupa urusanku
dan juga Irfan). Anggi adalah seorang sekretaris sebuah perusahaan
swasta di kota B dan Rina adalah asisten Anggi. Aku tidak peduli siapa
mereka, yang jelas kedua-duanya sangat mempesona.
"Mari saya bawakan barang belanjaan Mbak Anggi."
"Oh
terima kasih.. tidak perlu serepot itu", (sepintas aku maklum, karena
sedikit terlihat apa saja yang dibelanjakan, kebutuhan wanita).
"Begini
saja, bagaimana kalau kamu ikut kita, karena saya ada voucher di café D
hotel tempat saya menginap, jadi kita bisa manfaatkan voucher tersebut,
dan melanjutkan diskusi kita, mungkin kamu bisa cerita banyak tentang
kota S ini, bagaimana?"
"Tetapi saya tidak bawa mobil, maklum mahasiswa Mbak.."
"Lho hotel kita dekat kok, cukup jalan kaki saja, gimana mau nggak."
Aku
belum menjawab, tetapi kaki ini sudah terburu melangkah menyetujui
usulannya. Kami pun berjalan menuju hotel tempat mereka menginap.
Sesampainya di hotel.
"Kamu tunggu dulu, aku mau ganti baju dulu, Rin.. tolong tuh Sakti diberi coklat yang tadi kita beli."
Sekejab saja Anggi melepaskan pakaian di hadapan kita berdua (aku dan Rina).
"Mbak.. ih kan ada Mas Sakti, kok nyelonong gitu aja sih.."
"Mmmhh,
sebaiknya aku tunggu di luar saja Mbak, betul kata Rina.." aku
membalikkan badan, dan memang kamar itu tidak ada sekat kecuali kamar
mandi.
"Lho emangnya umurmu berapa?"
"25 tahun Mbak.."
"Sudah cukup dewasa bagi kamu, apakah kamu belum pernah lihat sebelumnya?"
"Kamu beruntung, kupikir inilah saat pertama bagi kamu."
"OK, saya beri waktu satu menit untuk memutuskan apa kamu mau melihatku atau tunggu di luar."
Satu menit, setengah menit saja aku sudah membalikkan badan dan melihat Mbak Anggi dengan bra dan celana dalam saja.
"My God.. seseorang wanita cantik telah berdiri di hadapanku.."
"Terima kasih Tuhan, telah memperlihatkanku tubuh wanita cantik di hadapanku, ini merupakan hal yang pertama dalam diriku."
"Mari kita memulai permainan."
"OK Sakti, kita punya suatu permainan yang mengasyikkan."
Kemudian
aku tidak bisa menolak karena sekali lagi melihat bodi itu. Rina hanya
bengong aja. Maka dimulailah les private yang pertama dalam hidup saya.
"Coba
sentuh susuku.." dan aku menurut, dituntunnya tanganku meraba
payudaranya yang kenyal, saat itu aku belum tahu berapa ukuran payudara
Anggi, belakangan (setelah mahir) baru tahu kalau 34B.
Kukumpulkan
keberanian untuk mulai menikmati kedua payudara Anggi dengan kedua
tanganku. Perlahan tetapi pasti kujelajahi kedua bukit kembar yang untuk
pertama kalinya, kudapati tanpa sebuah perjuangan yang berarti. Semakin
lama aku permainkan dengan sekali dua kali kucubit putingnya yang
menonjol menantang, mengalunlah suara yang terengah-engah, "Oohh..
Saakk.. ohhkh.. nakal kamu.." dan suara itu, ya.. suara itu
membangkitkan kemaluanku dengan cepat tegak berdiri dan sialan! Anggi
menyadari itu dan tanpa permisi melorotkan celana Jeans-ku dan dibukanya
sebagian CD-ku. "Wow.. Sak, punya kamu sudah minta segera di treatment
tuh.. kasihan 25 tahun dianggurin aja, woowww.. kepala burungmu besar
betul.. bisa masuk nggak ya? Ohhkh.. ya, terus Saktii.." Jujur saja
sebenarnya burungku tidaklah istimewa, panjang sekitar 14 cm saja, hanya
kepalanya besar dan diameternya lumayan. Aku sempat ragu juga apa bisa
memuaskan, maklum ini pengalaman pertamaku dan ukuran burungku yang
tidak spesial menambah kurang percaya diri.
Tetapi dengan sigap
Anggi melumat habis kemaluanku, aku kaget setengah mati ternyata bukan
main nikmatnya, terus dan terus hingga mencapai kekerasan dan tegak
maksimum. Aku sudah tidak kuat untuk memuncratkan spermaku dan benar,
untuk pertama kalinya spermaku muncrat di mulut seorang wanita, dan
habis diminumnya seperti segelas anggur. Aku baru sadar jika Rina dari
tadi memperhatikan permainan kami berdua.
Tidak sampai 5 menit
kemudian kemaluanku sudah berdiri lagi dan kini dituntunnya burungku
memasuki liang kemaluan Anggi yang sudah semakin basah, ini memudahkan
tugasku untuk menelusuri lubang kenikmatan tersebut. Sungguh dalam
permainan ini aku benar-benar diajari oleh Anggi, sehingga dengan cepat
aku sudah terbiasa dan memulai inisiatif untuk mengimbangi permainan
Anggi. Syukurlah walaupun pertama kali, ternyata aku sanggup bertahan
setengah jam menggosok-gosokan kemaluanku di lubang kemaluan Anggi tanpa
henti dengan segala posisi dan variasi yang Anggi ajarkan.
Entah
sudah berapa kali kusaksikan Anggi mengejang (aku belum tahu kalau itu
orgasme), tetapi tampak Anggi semakin semangat dan tanpa kusadari
permainan sudah berlangsung 1,5 jam sehingga Anggi berkomentar, "Sakti,
puluhan kali aku bersetubuh dengan berbagai lelaki.. tetapi baru kali
ini aku bisa orgasme lebih dari lima kali dan kamu kuat sekali bertahan.
Oke deh aku nyerah, tolong segera keluarkan spermamu, aku bisa mati
kelemasan karena orgasme berulang kali." Maka di setengah jam berikutnya
aku semakin menghayati permainanku dan bukan semakin mempercepat
kocokanku tetapi semakin intent dengan menekan batang kemaluanku ke
lubang Anggi, dan dia sangat menikmatinya. Akhirnya saat yang kutunggu
tiba, muncratlah spermaku untuk yang kedua kalinya di lubang kemaluan
Anggi.
Total permainan kami 3 jam dan itu adalah waktu yang cukup
buat Rina untuk memahami permainan kami. Maka dituntunlah Rina oleh
Anggi untuk menikmati diriku, sekali lagi tidak sampai 5 menit batang
kemaluanku sudah gagah perkasa lagi, dan tidak sulit memulai permainan
dengan Rina, karena dia sudah terpengaruh dengan permainan kami. Ini
terbukti dengan liang kemaluannya yang becek. Satu yang membedakan Rina
dengan Anggi, ketika batang kemaluanku mencoba masuk lubang kemaluan
Rina, sulitnya bukan main dan belakangan kusadari kalau ternyata Rina
masih perawan. Aku merasa bersalah telah merusak keperawanan Rina,
tetapi kenapa dia tidak menolak sejak awal? "Aku sudah terangsang hebat
dan aku juga ingin merasakan kenikmatan ini", begitu jawabnya singkat
dengan peluh bercucuran, permainan ini tidak berlangsung lama seperi
saat bercinta dengan Anggi, cukup 2 jam. Jadi total permainan kami 5
jam. Aku hendak pamit pulang, ternyata mereka melarang, jadilah kami
bertiga tidur di hotel seranjang dalam keadaan telanjang bulat.
Sebelum
perpisahan di pagi hari, kami sempat bercinta lagi, tetapi kali ini aku
dikeroyok oleh mereka berdua, dan aku sudah semakin terbiasa dengan
seni percintaan ini, sehingga tidak langsung memasukkan batang
kemaluanku ke liang kemaluan mereka, tetapi dengan saling merangsang
melalui jilatan dan ciuman di liang kemaluan mereka. Akibatnya bisa
dibayangkan, jika semalam permainan kami berlangsung 5 jam, kali ini
berlangsung 7 jam non stop entah berapa kali mereka orgasme, yang jelas
aku selalu bergantian dari satu lubang ke lubang lainnya dan aku cukup
mengeluarkan 4 kali sperma, masing-masing sekali di mulut Anggi dan
Rina, sekali di lubang kewanitaan Anggi dan Rina.
Demikianlah
pembaca, sejak peristiwa itu, setiap kali Anggi atau Rina ke kotaku,
selalu kami bercinta, dan dari mereka pula aku dikenalkan dengan wanita
lain yang juga butuh kepuasan seks, dari eksekutif muda hingga ibu-ibu
ataupun wanita karir yang enggan berkeluarga. Mereka yang pernah aku
layani berkisar 23 tahun hingga 42 tahun.
Saat ini aku sudah
pindah ke ibu kota dengan jabatan pekerjaan yang lumayan sebagai seorang
general manager tetapi hobiku yang satu itu tidak dapat kulupakan dan
ingin melakukannya lagi, tetapi bagaimana? Cari saja pelacur? No way!
Kalau di kota S saja aku bisa dapatkan tanpa harus mencari, pasti di ibu
kota ini akan lebih banyak.
Kepada pembaca (terutama wanita)
yang ingin berkenalan silakan kirim ke alamat e-mail saya, sengaja aku
memakai alamat dengan nama seorang wanita, karena aku ingin mengenang
nama itu, dia adalah wanita yang paling spesial dalam melayaniku. Suatu
saat akan kuceritakan, bagaimana permainanku dengan Dwilina. Sekarang
aku ingin bermain dengan wanita dari ibu kota ini.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar