Peristiwa Keempat,
DI BAWAH SELIMUT KERETA MALAM ARGO LAWU
CERITA DEWASA SETENGAH BAYA : PENUTURAN PARA ISTRI YANG DIPERKOSA 4, Ini memang bukan masalah sepele, bukan sekedar masalah tangan, bukan sekedar soal keusilan seseorang. Aku merasa ini sudah menyentuh masalah prinsip sebuah kesetiaan. Kesetiaan seorang istri yang telah 20 tahun lebih mampu menahan segala terpaan goda nafsu birahinya.
Setiap 2 atau 3 bulan sekali aku bersama suamiku, Mas Rudy, pergi ke Solo menengok anakku yang kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS). Tetapi keberangkatanku sekarang ini terpaksa aku lakukan sendiri karena Mas Rudy kebetulan ada urusan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan. Dia berjanji akan menyusul dan menjemput aku saat kepulangannya nanti. Mas Rudy hanya bisa mengantarkan sampai aku duduk nyaman di kursiku di kereta api Argo Lawu yang akan meninggalkan stasiun Gambir menuju Solo jam 7.30 malam. Kalau tidak ada kelambatan kereta Argo Lawu ini akan memasuki stasiun Balapan Solo sekitar jam 5 pagi. Anakku Suryo sudah akan menunggunya di sana.
Aku dapat tempat duduk dengan nomor 14 C di larik sebelah kanan gerbong. Kursi di sampingku yang berada ditepi jendela nampaknya sudah ada yang menempati, orangnya tidak kelihatan tetapi dari barang bawaannya dan jaket yang ditaruh dikursinya aku perkirakan dia adalah orang laki-laki. Beberapa detik sebelum keberangkatan Mas Rudy turun dengan sebelumnya mencium pipiku sebagaimana kebiasaan kami apabila ada anggota keluarga datang atau pergi melakukan perjalanan.
Sesaat kereta bergerak meninggalkan Gambir seorang pria muda pemilik kursi di sampingku baru muncul. Dengan penuh santun dan hormat dia mengucapkan selamat malam padaku dan bahkan menawari aku apabila aku menghendaki duduk di kursinya yang disebelah jendela. Aku ucapkan terima kasih, aku tidak ingin pindah dari kursiku. Pertimbanganku karena aku ini punya kebiasaan beser. Bisa dipastikan aku akan berbelas-kali mondar-mandir ke toilet untuk kencing. Dan itu akan membuat aku sungkan apabila setiap kali aku harus ngomong sama dia untuk ke toilet.
Pria ini berinisiatip untuk banyak ngomong dan mengajak aku berbicara. Dari pembicaraannya kelihatan bahwa dia adalah seorang terpelajar. Dia ke Solo dalam rangka tugas dari perusahaannya, dia akan tinggal selama 1 minggu di kota itu. Selama pembicaraan sepenuhnya dia menujukkan sikap hormat dan santunnya padaku. Aku juga menaruh respek padanya karena sikapnya itu. Dia pinjamkan majalah dan koran bacaannya padaku, dia juga tawarkan makanan atau minuman saat pelayan restoran melewati bangku kami. Kecuali koran dan majalahnya yang lain aku menolak dengan halus. Aku terbiasa hanya minum air mineral saat bepergian begini. Dan untuk makan malam aku rencanakan nanti sekitar jam 10 malam baru aku mau pesan ke restoran. Aku sudah membayangkan steak Argo Lawu yang enak itu untuk makan malamku.
Sesungguhnya aku nggak pernah membanding-bandingkan suamiku dengan lelaki lain, tetapi nggak tahu kenapa kali ini tanpa bisa kuhindarkan aku melakukan itu, mungkin karena waktu yang waktu panjang perjalanan yang membuat aku sempat berpikir macam-macam. Aku perhatikan pria di sampingku ini tampan banget. Wajahnya mengingatkan aku pada bintang film Onky Alexander yang main di film Catatan si Boy itu. Bahkan terus terang sebagai penonton film dan sinetron aku termasuk pengagum tampang Onky itu. Gayanya dalam film yang acuh, santun dan jantan sering aku tempatkan dalam khayalan isengku saat membayangkan macam bagaimana pria idola itu. Walaupun semua itu sama sekali tidak mempengaruhi sikap seriusku sebagai istri yang setia tanpa reserve yang telah lebih dari 20 tahun mendampingi Mas Rudy suamiku. Tetapi kali ini sepertinya pikiranku agak nggak lempang, kenapa?
Dilain pihak pria ini, yang aku perkirakan usianya paling sekitar 30 tahunan atau 8 tahun lebih muda dari aku, memperkenalkan namanya Rendy (ah, kenapa sama-sama menggunakan huruf "R" di depan, "d" di tengah dan "y" dibelakang sebagaimana nama Rudy suamiku). Kalau ngomong dia menatapku sedemikian rupa hingga aku sering merasa kikuk. Bahkan beberapa kali dia demikian mendekatkan wajahnya ke wajahku saat menyampaikan sesuatu, seakan untuk mengimbangi suara gemuruh kereta Argo Lawu yang lari kencang ini. Tetapi aku lebih mengartikan bahwa cara demikian itu sebagai tanda bahwa sebagai seorang pria dia tertarik padaku yang wanita. Dia ingin dekat padaku dan aku dekat padanya. Mau akrab, gitu lah.
Sesungguhnya aku juga nggak begitu heran dengan caranya itu. Banyak lelaki yang juga bersikap demikian padaku. Walaupun usiaku sudah menjelang 38 tahun tetapi penampilanku masih sering menggoda perhatian para lelaki. Dengan kulitku yang putih bersih dan tinggi badanku yang 172 cm dan berat 55 kg, banyak teman-teman di arisan kompleks rumahku mengatakan aku awet muda. Mereka juga bilang aku manis, cantik, sensual, ah, pokoknya macam-macam pujianlah. Dan kalau lagi kelakar di rumah, suamiku juga sering mengatakan bahwa kecantikanku tidak surut oleh usiaku. Mas Rudy selalu bilang bahwa kecantikkanku tidak berubah sejak ketemu 20 tahun yang lalu. Tentu saja aku mensyukuri semua itu. Dan secara fisik memang dengan sadar aku menjaga kesehatan, makanan dan olah raga secara ter-atur. Setidaknya sebulan 4 kali aku perlukan waktu untuk berenang, di mana saja. Aku juga selalu bangun pagi menyertai Mas Rudy untuk lari jogging setiap pagi.
Dalam soal busana aku senang dengan cara berpakaian yang santun. Aku tidak pernah memakai blus yang memperlihatkan belahan dada, atau celah ketiak atau punggung terbuka. Semua busana pilihanku relatip serba tertutup. Dan aku bahkan sangat menyenangi pakaian Jawa yang kain dengan kebayanya, atau baju muslim saat aku menghadiri undangan atau pesta-pesta hajatan keluarga maupun teman. Aku juga menyenangi tampilan alami, hanya sedikit kosmetik. Aku termasuk orang yang mencintai dan yakin dengan "inner beauty".
Gerbong eksekutip Argo Lawu ini dingin AC-nya terasa sangat menggigit. Selimut tebal Argo Lawu yang dibagikan bersama bantal tidak banyak menolong aku. Aku sangat sensitip terhadap dingin macam begini. Kalau aku jalan sama suamiku dia sudah merangkulku memberikan kehangatan. Kini aku menggigil hingga kedengaran gigiku yang menggelutuk beradu. Rupanya Rendy langsung tahu apa yang terjadi pada diriku, dengan penuh spontan dia lepaskan jaketnya dan diserahkannya padaku. Semula aku menolaknya, tetapi dia sudah langsung menutupkan pada tubuhku sambil bilang bahwa dia tidak begitu memerlukannya, dia bilang dingin macam ini nyaman untuk tubuhnya.
Begitu jaket itu menutupi tubuhku yang pertama aku rasakan adalah sedikit kehangatan dan aroma wewangian pria. Seperti wewangian yang terbuat dari rempah-rempah. Tentu saja ada semburat aroma ke-lelaki-an Rendy yang berebut menembus hidungku. Aku merasakan keadaan yang aneh, sepertinya ada lelaki lain yang bukan suamiku sedang memeluk aku. Sekali lagi aku mengkhawatirkan pikiranku yang nggak lempang ini. Rasanya ada yang salah dengan keadaan diriku. Sepertinya sebuah kesetiaan sedang mendapat cobaan. Dan celakanya aku nggak bisa memastikan, aku ini senang atau prihatin dengan apa yang sedang berlangsung ini.
Aku sangat kaget ketika tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku, hampir kutarik kalau dia tidak bilang,
"Tangan Mbak dingin banget, nih. Mau nggak kalau aku pijat refleksi tangannya, nanti hangat, deh?", ah, dia punya seribu satu alasan yang selalu tepat untuk banyak berbuat padaku. Aku juga nggak tahu, kenapa aku pasrah saja saat tangannya meraih tanganku membawa ke pangkuannya untuk dia pijit-pijit. Dia bilang pijat refleksi. Aduh, aku berteriak tertahan karena kesakitan, tetapi dengan cepat dia bilang dalam bisikkan, bahwa kalau aku merasakan sakit artinya bahwa memang aku sedang sakit. Dia terangkan bahwa yang dia pijat itu adalah tombol-tombol saraf yang berhubungan dengan bagian di tubuhku yang sedang kena sakit. Dia bilang paru-paru dan punggungku sedang tidak normal karena dingin atau mungkin karena lelahnya perjalanan. Dan yang membuatku langsung merinding dan bergetar adalah suara bisikkannya itu. Dalam khayalku se-akan seorang lelaki bukan suamiku sedang membisikkan birahinya ke padaku. Aku menggelinjang kecil, perasaan serupa pernah aku rasakan sudah begitu lama, saat pertama kalinya pacar pertamaku barhasil membawaku ke ranjangnya. Tapi aku masih sepenuhnya sadar untuk jangan sampai segalanya berkembang terlalu jauh,
"Sudah, dik, sudah, terima kasih, aku nggak tahan sakitnya, nih". Kutarik tanganku dan dia lepaskan. Untuk beberapa saat kami saling berdiam diri, walaupun sebentar-sebentar dia menengok ke arahku menunjukkan rasa khawatirnya.
Ternyata yang namanya godaan selalu ada saja. Alergi dinginku membuat aku terbatuk-batuk hingga tubuhku terbungkuk-bungkuk menahan gatalnya tenggorokkanku. Dan dia yang penuh perhatian padaku terasa begitu saja spontan saat memegang kudukku untuk meijat-mijatnya sambil,
"Mbak masuk angin, nih". Aku memang nampak seperti nenek-nenek kronis. Batukku ini benar-benar membuat aku tidak berkutik saat tangannya juga merangkul pundakku sambil terus memijat tengkukku. Ah, kenapa harus begini, sih. Apa yang akan terjadi selanjutnya ..? Kemudian dia lepaskan rangkulannya padaku dan berdiri,
"Sebentar, mbak, ya", dia beranjak jalan, mungkin ingin ke toilet. Tetapi setelah beberapa saat dia muncul lagi dengan segelas teh hangat di tangannya. Ah, orang ini selalu mengambil tindakan yang tepat pada waktu yang tepat. Teh hangat ini memang yang sangat aku butuhkan pada saat-saat seperti ini,
"Wah, dik, anda kok begitu repot, sih, terima kasih banget, ya. Maafkan, aku ini memang nggak tahan dingin. Ya, begini jadinya, mudah-mudahan teh panas Dik Rendy akan mengurangi kedinginanku", begitu jawabku saat dia menyodorkan teh panas itu padaku sambil aku memberikan jalan untuk dia duduk kembali ke kursinya. Dan begitu aku me"nyeruput"-nya memang aku langsung merasakan hangatnya teh panas itu mengalir di tenggorokanku dan batuk-batukku seketika jauh berkurang. Ah, nikmatnya. Untung ada Rendy yang penuh perhatian padaku. Ya, begitulah, aku jadi merasa berhutang budi pada dia karena teh panas ini.
Dan ketika sama-sama berada di bawah selimut Argo Lawu tangan Rendi kembali meraih tanganku seakan hendak memeriksa suhu tubuhku aku tidak lagi merasa perlu menghindar. Tangan itu meremasi tanganku dan diluar kesadaranku, refleks tanganku membalas remasannya. Aku sendiri kaget dengan reaksi refleks tanganku itu, tetapi sudah terlambat untuk begitu saja menghentikannya. Apalagi nampaknya Rendy jadi demikian antusias dengan balasan remasan tanganku. Akhirnya aku, mau tidak mau dan tidak ada pilihan lain lagi, mencoba menikmati apa yang sedang berlangsung ini. Juga saat tangan lainnya kembali meraih pundakku dan menariknya agar bersandar ke pundaknya untuk mendapatkan kehangatan yang lebih aku benar-benar tak mampu menghindar lagi. Dan remasan Rendy aku rasakan semakin "intens" saat dia juga mengeluarkan bisikannya,
"Mbak, tangan Mbak lembut banget, ya. Halus sekali. Dan Mbak juga halus sekali. Mbak cantik sekali". Rupanya dia sudah tak bisa kuhentikan lagi. Rendy sudah memasuki tahap "batas tidak wajar" yang serius, sementara aku merasa mulai memasuki tahap terjebak "batas tidak wajar" yang sulit aku hindari. Toh, aku masih mencoba bertahan,
"Ingat Dik Rendy, aku sudah bersuami. Dan aku sangat mencintai suami dan anak-anakku tak kurang suatu apapun",
"Saya tak akan mengganggu kebahagiaan mbak, kok. Saya hanya mengucapkan apa yang secara nyata aku hadapi terhadap mbak. Mbak sungguh cantik sekali", dia mencoba bertahan dengan diplomasi cinta gombalnya, sementara remasan tangannya terkadang berubah menjadi elusan di punggung dan telapak tanganku dan walaupun aku tidak begitu menunjukkan semangat membalasnya aku tak pernah lagi berusaha menghindarinya, kecuali jantungku yang deg-deg-an semakin menahan gejolak "batas tidak wajar" lembutku.
Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, aku lihat sepintas tadi kereta malamku telah melintasi stasiun Kroya. Apabila tidak ada hambatan kereta ini akan memasuki stasiun Balapan Solo pada jam 5.30 pagi. Rendy tertidur, tetapi aku nggak yakin kalau bisa tidur beneran. Dia bergerak terus, nampaknya ada kegelisahan. Aku pastikan dia sedang memikirkan bagaimana bisa membuka kembali omongan denganku.
Aku akui, sesungguhnya aku menikmati remasan-remasan tangannya tadi. Dan aku akui juga sesungguhnya aku hampir bobol pertahanan "batas wajar"-ku tadi. Tetapi kini aku merasa lebih tegar untuk tidak begitu saja merontokkan harga diriku padanya. Tiba-tiba dia melek, menatap aku dan kembali meraih tanganku yang sama-sama di bawah selimut Argo Lawu itu,
"Ah, tangan Mbak sudah normal, nih, nggak kedinginan lagi, ya", dia membuka omongan dan aku menarik ingin tanganku saat dia menyambung bicaranya,
"Mbak kalau.. Eehh.. kalau saya minta tolong, Mbak mau menolong saya?", aku dengar suaranya sedikit berubah tekanannya dan terbata, sepertinya suara seorang kompromis. Aku merasa memegang kartu tawarku, rasanya "bargenning position" ada padaku,
"Apa, dik. Kalau aku bisa menolong..?", kata-kataku tidak selesai ketika tiba-tiba dia merenggut tanganku dan dipaksanya menggenggam .. ah, sangat aku tidak duga kalau hal seperti ini akan dia lakukan padaku.., dia paksa agar aku menggenggam kontolnya yang nggak tahu sejak kapan dia keluarkan dari celananya, telah berdiri ngaceng tegang di bawah selimut Argo Lawunya.
Sebetulnya aku amat tersinggung dan terhina pada ulah Rendy ini, tetapi nggak tahu kenapa aku tiba-tiba serasa ditimpa dan ditampar sebuah sensasi yang hebat saat tanganku dia paksakan menggenggam sesuatu yang sangat luar biasa bagiku. Tanganku merasakan kontol Rendy itu sangat hangat, gede dan panjang. Sepertinya aku terpukau oleh sihir gedenya kontol Rendy ini. Untung reflek bertahanku masih menampakkan penolakkan dengan berusaha menarik dari cengkeraman tangannya. Hanya akhirnya karena kekuatan yang tidak seimbang, dia membuat aku tidak berkutik,
"Tolong, mbak, sebentar saja, saya bener-bener tidak bisa menahan nafsu birahiku, tolong mbak, biar aku terlepas dari siksaanku ini, tolon..ng..", dia menghiba dalam berbisik dan aku semakin tertelikung oleh kekuatan tangannya dan sekaligus sihir nafsu birahiku yang tak mampu menghadapi sensasi penuh pesona kontol gede dari lelaki yang sangat ngganteng mirip Onky Alexander ini.
Dia kembali bisikkan ke telingaku,
"Kocok, mbak, aku pengin keluar cepet, nih", sambil dia pegang tanganku untuk menuntun kocokkannya. Dan aku sudah mengambil keputusan yang sangat berbeda dengan ketegaran awalku tadi. Aku merasa telah dikalahkan oleh suatu kondisi. Aku merasa dia telah memperkosa aku. Memaksa sesuatu demi mengejar kepuasan seksual apapun bentuknya adalah sebuah pemerkosaan. Dia telah memperkosa tanganku. Dan sebagaimana pemerkosaan di manapun juga, para korbannya malu untuk berteriak karena malu ketahuan kalau dirinya diperkosa orang. Bukan sekedar malu tetapi juga takut, bayangkan kalau di antara para penumpang ada yang wartawan koran "kuning" ibu kota, terus besoknya keluar head line "Seorang Ibu Diperkosa dalam Kereta Malam Argo Lawu", dan suamiku serta anak-anakku membacanya, dengan kemungkinan fotoku sebagai korban pemerkosaan ikut terpampang di head line tadi. Uh, mau disembunyikan kemana mukaku. Jadi keputusanku yaa.., aku layani sajalah apa maunya..
Telah beberapa saat dia mendesah dan merintih lirih, tetapi belum juga ejakulasinya datang. Bahkan kini aku sendiri mulai terjebak dalam kisaran arus birahi sejak tangannya juga merabai payudaraku dan memainkan puting susuku. Aku terbawa mendesah dan merintih pelan dan tertahan. Aku mengalami keadaan ekstase birahi. Mataku tertutup, khayalanku mengembara, aku bayangkan alangkah nikmatnya apabila kontol segede ini meruyak ke kemaluanku. Ah, alangkah nikmatnya.., nikmat sekali .., nikmat sekali..,
"Ayoo, dik, aku sudah cape, nih, keluarin cepeett..",
Dia tersenyum, "Susah, mbak, kecualii..",
"Apaan lagi?",
"Kalau Mbak mau menciumi dan mengisepnya", gila. Dia sudah gila. Beraninya dia bilang begitu padaku. Tt.. tet.. ttapi .. mungkin aku kini yang lebih gila lagi. Aa.. aak.. ku mengangguk saat matanya melihat mataku. Sesungguhnya sejak tadi saat tanganku menggapai kontolnya kemudian merasakan betapa keras, panjang dan besarnya aku sudah demikian terhanyut untuk selekasnya bisa menyaksikan betapa mentakjubkan kontol segede itu. Aku sudah demikian tergiring untuk selekasnya mencium betapa harumnya aroma kontol segede itu, betapa lidahkupun ingin merasakan bagaimana seandainya aku berkesempatan melumat-lumat kontol si ganteng Onky ini. Dan kini rasanya yang sangat berharap untuk mengisep-isep itu bukan dia tetapi aku kini yang kehausan dan ingin sekali menciumi dan mengisep kontol Onky Alexander-ku ini.
Cahaya lampu Argo Lawu yang memang diredupkan untuk memberi kesempatan para penumpang bisa tidur nyenyak sangat membantu apa yang sedang berlangsung di kursi 14 C dan D ini. Seakan-akan aku tidur di pangkuan suamiku, aku bergerak telungkup menyusup ke dalam selimutnya. Gelap, tetapi bibirku langsung menyentuh kemudian mencaplok kontol gede idamanku itu. Aku sudah menjadi hewan. Nafsuku nafsu hewaniah. Aku tidak lagi memikirkain nilai-nilai kesetiaan dan sembarang nilai lainnya. Aku sudah masa bodo. Nafsuku sudah menjerat aku. Aku mulai mengkulum kontol gede itu, lidahku bermain dan aku mulai memompakan mulutku ke kontol Rendy. Huuhh, aroma kontolnyaa.., sungguh aku langsung terhanyut dan bergelegak. Aku mengharapkan sperma dan air mani Rendy cepat muncrat ke mulutku. Aku biasa menelan sperma suamiku, sehingga kini aku juga merasa biasa saja kalau kontol ini akhirnya akan memuncratkan spermanya dan aku pasti menelannya.
Entah bagaimana tampaknya dari luar, selimut Argo Lawu punya di arah selangkangan Rendy pasti akan naik turun bak gelombang laut selatan yang ganas itu. Aku yakin Rendy sudah memikirkan kemungkinan untuk tidak sampai menjadi perhatian penumpang lainnya. Aku sendiri akhirnya demikian masa bodoh. Aku yang sudah demikian larut dalam kenikmatan yang tak mudah kutemui di tempat lain ini terus hanyut dalam keasyikan birahi dengan kontol dalam jilatan dan kulumanku. Aku merem melek setiap lidahku menjulur dan menariknya kembali. Rasa asin precum Rendy demikian aku rindukan dan nikmati sepenuh perasaan dan gelinjang nafsuku.
Aroma jembut tebal Rendy sangat memabukkanku. Dalam ruangan selimut yang demikian sempit itu aroma kelelakian Rendy demikian menggumpal merasuki hidungku. Sementara tangan Rendy sendiri kurasakan aktif mengelusi di arah rambutku, terkadang juga turun hingga ke pantatku. Aku menggelinjang tertahan dalam tempat yang serba terbatas ini.
Kini yang kurasakan adalah kehausan yang amat sangat. Aku ingin minum. Aku ingin secepatnya air mani Rendy muncrat dari kontolnya ini. Aku sangat haus untuk segera meminum sperma panasnya. Aku lumat-lumat sepenuh perasaanku dengan harapan bisa secepatnya merangsang Rendy untuk melepaskan spermanya. Kontol itu kuperosokkan dalam-dalam kemulutku hingga menyentuh tenggorokkanku. Aku mengerang, mendesah sambil bergumam meracau. Tanganku juga ikut mengelusi batangnya kekar dan keras itu. Sesekali lidah dan bibirku menjilati batangnya hingga ke pangkal dan bijih pelernya.
Benar, tidak sampai 5 menit sebuah kedutan yang sangat keras mengejut dalam mulutku diikuti pancaran panas air mani Rendy. Kedutan-kedutan selanjutnya membuat mulutku penuh oleh cairan lendir panas itu. Aku buru-buru menelannya agar tidak tercecer. Sayang, khan.
"Terima kasih, ya mbak", katanya sambil membetulkan celananya dan menarik tutup resluitingnya. Dia sama sekali nggak memperhitungkan factor aku. Mestinya dia memikirkan bahwa akupun butuh penyaluran sesudah dia giring aku ke lembah birahi tak terkendali hinga aku kini merasakan harus tuntas melalui orgasmeku. Dilain pihak, waktu juga sudah mengejar, mungkin sekita 20 menit lagi kereta akan sampai ke tujuan. Dengan perasaan yang sangat menggantung aku kembali duduk manis, seakan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi. Aku lihat para penumpang lain masih nyenyak dalam mimpi mereka.
Anehnya, sesudah itu Rendy nampak tak acuh padaku. Jangan-jangan karena maksudnya sudah kesampaian. Artinya sejak awal tadi dia banyak memperhatikan aku semata kerena didorong oleh kehendak bvirahinya. Kurang ajar kamu, Rendi. Aku juga menjadi dongkol, marah dan masa bodo padanya. Aku merasa dihinakan dan direndahkan. Aku berfikir mungkin karena aku sudah tua. Ah, memang aku sudah tua. Aku yang sudah tua dan tidak tahu diri.
Saat kereta nyampai dia menyambar tas ranselnya dan mendahului aku turun. Mbak, saya duluan ya, katanya kering tanpa sedikitpun keinginan untuk membantu aku bawa tas, kek, koper, kek, tahu bahwa bawaanku cukup ribet begini. Dasar sudah tua ngak tahu diri, begitu pikirku pada diriku sendiri.
Untung Suryo cepat muncul, dia mencium tanganku dengan penuh hormat dan takzim. Aku yang menerima ciuman hormat dan takzim anakku kembali merasa malu, aku adalah orang tua yang nggak tahu diri, hina, memalukan ah.. macam-macam yang serba jeleklah. Nilaiku kini tidak setinggi nilai saat aku berangkat diantar suamiku kemarin sore. Yang harus aku usahakan kini adalah mengembalikan rasa percaya diriku.
(Diceritakan kembali oleh Henny, sahabat karib korban)
CERITA DEWASA SETENGAH BAYA : PENUTURAN PARA ISTRI YANG DIPERKOSA 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar