Sebenarnya cerita ini akan saya kirimkan ke rubrik 'Oh Mama.. Oh Papa'
di majalah Kartini, namun karena ketahuan istri saya, baru sekarang saya
menemukan rubrik yang cocok untuk berbagi cerita pada pembaca lainnya.
Bermula
dari 25 tahun silam, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di
Surabaya. Sebagai seorang pemuda perantau yang masih lugu, saya ke pulau
Jawa untuk melanjutkan studi dan mengadu nasib. Paman dan Bibi yang
tinggal di sebuah kota kecil LM sebelah timur Surabaya sudah dikirimi
telegram untuk menjemput saya, namun karena komunikasi yang kurang
lancar, sehingga kami tidak bertemu. Dengan berbekal alamat rumah Paman,
saya memutuskan untuk langsung berangkat ke kota LM dengan menggunakan
bis kota.
Tiba di kota LM sudah menjelang sore hari, dan dalam
keadaan lapar saya menuju ke rumah Paman, namun ternyata Paman dan Bibi
sudah sejak pagi berangkat ke Surabaya untuk menjemput saya. Berkat
kebaikan tetangga (karena sudah diberitahu Bibi mengenai kedatangan
saya) Pak Edy dan istrinya Bu Ning (keduanya berusia sekitar 45
tahunan), saya diberitahu untuk tinggal sementara di rumah mereka.
Disinilah awal dari inti kisah nyata saya.
Bu Ning sebagai
umumnya wanita Jawa setengah baya dan kebetulan belum dikarunia momongan
selalu memakai kebaya dan rambutnya disanggul, sehingga penampilan
selalu anggun. Bertubuh sekal, pinggul dan pantatnya yang besar, suka
tersenyum dan sangat baik.
Malam itu kira-kira jam 19:00 Pak Edy
sebagai petugas kantor pos harus lembur malam karena akhir Desember
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sementara saya karena
kecapaian setelah menempuh perjalanan panjang tertidur pulas di kamar
yang telah disediakan Bu Ning.
Kira-kira jam 11 malam saya
terbangun untuk ke kamar kecil yang ada di belakang rumah, dan saya
harus melewati ruang tamu. Di ruang tamu saya melihat Bu Ning sedang
menonton TV sendirian sambil rebahan di kursi panjang.
"Mau kemana Dik..? Mau keluar maksudnya..?" tanya Bu Ning lagi.
Karena rupanya Bu Ning tidak mengerti, akhirnya saya katakan bahwa saya mau kencing.
"Ohh.., kalau begitu biar Ibu antarkan." katanya.
Waktu
mengantar saya, Bu Ning (mungkin pura-pura) terjatuh dan memegang
pundak saya. Dengan sigap saya langsung berbalik dan memeluk Bu Ning,
dan rupanya Bu Ning langsung memeluk dan mencium saya, namun saya
berpikir bahwa ini hanya tanda terima kasih.
Setelah kencing saya
balik ke kamar, namun Bu Ning mengajak saya untuk nonton TV. Posisi Bu
Ning sekarang tidak lagi berbaring, namun duduk selonjor sehingga
kainnya terangkat ke atas dan kelihatan betisnya yang putih bulat.
Sebagai pemuda desa yang masih lugu dalam hal sex, saya tidak mempunyai
pikiran yang aneh-aneh, dan hanya menonton sampai acara selesai dan
kembali ke kamar untuk tidur lagi.
Pagi-pagi saya bangun menimba
air di sumur mengisi bak mandi dan membantu Bu Ning untuk mencuci,
sementara Paman dan Tante belum kembali dari Surabaya karena mereka
sedang mencari saya disana. Om Edy sudah berangkat lagi ke kantor,
tinggal saya dan Bu Ning di rumah. Bu Ning tetap mengenakan sanggul.
Beliau tidak berkebaya melainkan memakai daster yang longgar, duduk di
atas bangku kecil sambil mencuci. Rupanya Bu Ning tidak memakai CD,
sehingga terlihat pahanya yang gempal, dan ketika tahu bahwa saya sedang
memperhatikannya, Bu Ning sengaja merenggang pahanya, sehingga
kelihatan jelas bukit vaginanya yang ditumbuhi bulu yang cukup lebat,
namun hingga selesai mencuci saya masih bersikap biasa.
Setelah
mencuci, Bu Ning memasak, saya asyik mendengarkan radio, waktu itu belum
ada siaran TV pagi dan siang hari. Siangnya kami makan bersama Om Edy
yang memang setiap hari pulang ke rumah untuk makan siang.
Malam
harinya Om Edy kembali lembur, dan Bu Ning seperti biasa kembali
mengenakan kebaya dan sanggul, sambil nonton TV. Di luar hujan sangat
lebat, sehingga membuat kami kedinginan, dan Bu Ning meminta saya untuk
mengunci semua pintu dan jendela.
Pada saat saya kembali ke ruang
tamu, rupanya Bu Ning tidak kelihatan. Saya menjadi bingung, saya cek
apakah dia ada di kamarnya, juga ternyata tidak ada. Saya balik ke kamar
saya, ternyata Bu Ning sedang berbaring di kamar saya, dan pura-pura
tidur dengan kain yang tersingkap ke atas, sehingga hampir semua pahanya
yang putih mulus terlihat jelas.
Saya membangunkan Bu Ning,
namun bukannya bangun, malah saya ditarik ke samping ranjang, dipeluk
dan bibir saya diciuminya. Karena saya masih bersikap biasa, Bu Ning
membuka kebayanya dan meminta saya untuk mencium buah dadanya yang
sangat besar dengan puting hitam yang sangat menantang. Saya menuruti
dengan perasaan takut, dan ternyata ketakutan saya membuat Bu Ning
semakin penasaran dan meminta saya untuk membuka baju dan celana
panjang, sehingga tinggal CD, sementara Bu Ning mulai membuka kainnya.
Bu
Ning mulai mencium adik kecil saya, dan meminta saya melakukan hal yang
sama, dengan mencium vaginanya yang wangi dan merangsang secara
bergantian. Sambil mencium vaginanya, tangan saya disuruh meremas buah
dadanya yang masih keras dan kadang memilin putingnya yang mulai
mengeras, nafas Bu Ning mulai terasa cepat, dan meminta saya untuk
membuka CD dan mencium tonjolan daging yang tersembul di mulut vagina.
Saya melakukan sesuai perintah Bu Ning, dan ternyata terasa basah di
hidung saya karena banyaknya cairan yang keluar dari vagina Bu Ning,
sementara Bu Ning mendesis dan mendesah keenakan dan kadang-kadang
mengejangkan kakinya.
"Uhh.. ohh.. ahh.. ohh.., terus Dik..!" desahnya tidak menentu.
Meriam
saya berdiri tegang dan Bu Ning masih mempermainkan dengan tangannya.
Sesekali Bu Ning meminta saya untuk mengulum bibir dan putingnya.
Setelah puas dengan permainan cumbu-cumbu kecil ini, Bu Ning kembali ke
kamarnya dan saya pun teridur dengan pulasnya.
Pagi-pagi Paman
dan Bibi yang rupanya telah kembali dini hari menjemput saya, dan rumah
Paman dan rumah Om Edy ternyata bersambungan dan hanya dibatasi sumur
yang dipergunakan bersama. Setelah berbasa-basi sebentar, dan Bu Ning
katakan bahwa saya sudah dianggap anak sendiri, jadi kalau Paman dan
Bibi berpergian, saya bisa tidur di rumah Om Edy. Kebetulan Paman pada
saat itu sedang menyelesaikan tugas akhirnya di PTN di kota ML.
Kehidupan
hari-hari selanjutnya kami lalui dengan biasa, namun kalau sedang
berpapasan di sumur kami selalu senyum penuh arti, dan makin lama
membuat saya mulai jatuh cinta kepada Bu Ning, senang melihat
penampilannya yang anggun. Sebulan kemudian Paman dan Bibi harus ke Ml,
dan saya dititipkan lagi pada Om Edy.
Hari itu adalah hari Jumat.
Setelah selesai sarapan, Om Edy pamitan untuk ke BTR karena ada acara
dari kantor sampai minggu sore, dan meminta saya untuk menjaga Bu Ning.
Setelah Om Edy berangkat, saya dan Bu Ning mulai tugas rutin, yaitu
mencuci, dan seperti biasanya Bu Ning selalu mengenakan daster, tanpa
CD. Saya diminta Bu Ning agar cukup memakai CD.
Sambil mencuci
kami bercengkrama, ciuman bibir dan mengulum putingnya. Saya berdiri
menimba air dan Bu Ning jongkok sambil mencium adik kecil saya, atau Bu
Ning yang menimba air saya yang jongkok sambil mencium klitorisnya yang
sudah mulai mengeluarkan cairan. Ketika kami saling birahi dan sudah
mencapai puncak, Bu Ning saya gendong ke kamar. Di ranjang, Bu Ning saya
pangku. Sambil mencium leher, samping kuping dan mengulum putingnya
(menurutnya kuluman puting cepat membuatnya horny), kemudian Bu Ning
mengambil posisi telentang dan meminta saya untuk memasukkan meriam saya
yang memang sudah tegang sejak masih berada di sumur.
Karena Bu
Ning jarang melakukannya, maka meriam saya perlu dioleskan baby oil agar
mudah masuk ke vaginanya yang sudah basah dengan cairan yang beraroma
khas wanita. Pahanya dilebarkan, dilipatkan di belakang betis saya,
pantatnya yang bahenol bergoyang naik turun. Sambil mencium keningnya,
samping kupingnya, mengulum bibirnya, tangan kiri saya mengusap dan
kadang menggigit kecil putingnya atau menjilat leher dan dadanya.
"Teruss..
Dikk..! Tekan..! Huh.. hah.. huh.. hahh.. ditekan.. enakk sekali.. Ibu
rasanya.. nikmatt.. teruss.., Ibu udah mau nyampen nih.. peluk Ibu yang
erat Dikk..!" desahnya mengiringi gerakan kami.
Sementara itu saya merasakan makin kencang jepitan vagina Bu Ning.
"Saya udahh.. mauu.. jugaa.. Bu..! Goyang.. Bu.., goyang..!"
Dan akhir.., pembaca dapat merasakannya sendiri. Akhirnya kami terkulai lemas sambil tidur berpelukan.
Jam
4 sore kami bangun, dan kemudian mandi bersama. Saya meminta Bu Ning
menungging, dan saya mengusap pantat dan vaginanya dengan baby oil.
Rupanya usapan saya tersebut membuat Bu Ning kembali horny, dan meminta
saya untuk memasukkan kembali adik kecil saya dengan posisi menungging.
Tangan saya mempermainkan kedua putingnya.
"Teruss.. ohh.. teruss.. yang dalam Dik..! Kok begini Ibu rasa lebih enak..!" katanya.
"Ibu goyang dong..!" pinta saya.
Sambil pantatnya digoyangkan ke kiri dan ke kanan, saya melakukan gerakan tarik dan masuk.
"Oohh.. ahh.. uhh.. nikmat Dikk.. terus..!" desahnya.
Akhirnya Bu Ning minta ke kamar, dan mengganti posisi saya telentang. Bu Ning duduk sambil menghisap putingnya.
"Ohh.. uhh.. nikmat Dikk..!" katanya.
Kadang dia menunduk untuk dapat mencium bibir saya.
"Ibu.. udahh.. mau nyampe lagi Dikk.. uhh.. ahh..!" katanya menjelang puncak kenikmatannya.
Dan
akhirnya saya memuntahkan sperma saya, dan kami nikmati orgasme
bersama. Hari itu kami lakukan sampai 3 kali, dan Bu Ning benar-benar
menikmatinya.
Malamnya kami hanya tidur tanpa mengenakan selembar
benang pun sambil berpelukan. Dan keesokan harinya kami lakukan hal
yang sama seperti kemarin, dan serasa kami sedang berbulan madu, sampai
kedatangan Om Edy.
Pengalaman dengan mentor sex saya ini ternyata
dikemudian hari ada juga manfaatnya untuk menghilangkan kejenuhan,
karena mengajarkan bagaimana melakukan "foreplay" dengan pasangan
sebelum sampai pada puncak permainan. Selain itu timbul suatu kelainan
dalam kehidupan sex saya, karena hanya menikmati sex setelah melihat
atau membayangkan atau melakukan dengan wanita STW yang
berkebaya/sanggul atau rambut disasak.
Akhir bulan Februari tahun
berikutnya saya harus berangkat ke Jakarta karena akan melanjutkan
kuliah disana. Setiap liburan saya menyempatkan diri untuk berlibur di
rumah Paman dan bertemu dengan kekasih saya, dan Mentor sex saya Bu Ning
yang selalu mengenakan kebaya dan bersanggul. Dan juga apabila ada
kesempatan, kami mengulangi permainan sex dengan pola permainan yang
sama.
Demikian kisah nyata ini saya persembahkan untuk para
pembaca dan akan bersambung pada kesempatan berikutnya, yaitu perjalanan
kehidupan sex saya selanjutnya.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar