Seperti nyala lilin, kehidupan adalah sebuah pengabdian. Sebuah proses
memberi yang tidak pernah berhenti. Filosofi ini tidak lahir dari
seorang idealis yang cendekia. Juga tidak mencuat dari otak bernas
seorang manusia teladan yang patut dibanggakan. Ia milik seorang wanita
desa sederhana yang hanya sempat mengecap sekolah di bangku kelas 1
SLTA. Namanya Sumiati. Wanita pendiam yang tidak hanya taat kepada orang
tua dan keluarga, tetapi juga agama. Persepsi bahwa kehidupan merupakan
wujud pengabdian yang tidak harus berhenti kepada keluarga, ditanamkan
kedua orang tuanya sejak Sumiati kecil. Ayahnya lelaki desa kebanyakan
yang tumbuh menjadi pria keras karena sulitnya kehidupan. Itu membangun
watak lugu sekaligus otoriternya dalam mendidik semua anak-anaknya.
Khususnya Sumiati yang manis dan sebenarnya menyimpan daya tarik seksual
tersembunyi. Faktor inilah yang membuat Sumiati secara tidak sengaja,
jatuh di tangan seorang lelaki tua namun kaya yang punya perkebunan
Kelapa Sawit cukup luas di desa A, tempat keluarga Parto, ayah Sumiati
bekerja.
Budiarta, atau biasa dipanggil tuan Budi, secara tidak
sengaja suatu hari melihat Sumiati mengantar makanan kepada Ayahnya yang
sedang bekerja pada pembangunan koridor pengangkutan tandan kelapa
sawit miliknya. Cukup sekali itu, entah oleh kekuatan magnit apa,
Budiarta yang sudah berusia 61 tahun langsung kemudian tidak bisa lagi
melupakan gadis pendiam bertubuh indah dan padat itu.
Melalui
kebayanya yang sederhana, pengusaha perkebunan yang sukses dan sudah
menduda lebih dari 15 tahun sejak bercerai dengan istri ketiganya ini,
bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh Sumiati. Bagaimana bentuk buah
dadanya yang montok dan agak besar, pinggulnya yang penuh berisi, sampai
bagaimana gelinjang dan geliat gadis itu, jika dirangsang dalam
ketelanjangannya. Budiarta mencoba menghapus dan membuang semua pikiran
liar itu, karena sadar kondisi dirinya. Namun semakin dibuang, kian
meradang keinginan untuk menguasai gadis desa itu. Puncaknya, suatu
hari, diam-diam dia meminta Parto membawa anaknya ke villa tempat
peristirahatannya di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas itu.
Di
sanalah dia bisa melihat dan meneliti sosok Sumiati dari dekat. Bukan
main. Ini kesimpulannya. Gadis itu benar-benar memiliki daya tarik
seksual yang luar biasa. Sumiati seperti mutiara yang belum terpoles,
atau berlian yang tersaput lumpur. Sekali dia bersih, maka pesonanya
akan memancar cemerlang. Melanggar tekadnya sendiri untuk melewati
hari-hari tuanya secara tenang sendirian di perkebunannya, Budiarta
nekat melamar Sumiati sebagai istrinya. Tentu saja ini bagai durian
runtuh bagi keluarga Parto. Dan Sumiati sendiri, yang semula sempat
terkejut karena sadar harus mendampingi seorang pria tua sebagai
suaminya, kemudian menepis semua pertimbangan dari tuntutan naluri wajar
yang ada di dalam dirinya, sebagai seorang gadis belia.
Dia
harus menerima lamaran Sang Tuan, melupakan tuntutan egonya, sebagai
bentuk apa yang diajarkan selama ini oleh Ayahnya. Pengabdian kepada
keluarga, kepada usaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka.
Perkawinan itu pun berlangsung dengan meriah. Membuat Desa A bagai
tenggelam dalam kenduri panjang yang terus berdegup kencang. Dan di
balik itu, Ibu Sumiatiterus mengajarkan kepada anaknya, bagaimana
caranya melayani seorang suami dengan baik. Secara khusus di tempat
tidur. Sumiati mendengar dan menyimaknya dengan jantung tidak berhenti
berguncang. Membayangkan kelamin lelaki dalam keadaan tegang, besar dan
keras, seperti sempat secara tidak sengaja dilihatnya. Saat itu dia
terbangun tengah malam dan ingin kencing di dapur. Dari balik sumur
tiba-tiba dia mendengar suara Ibunya. Entah keluhan, atau sejenisnya.
Begitu dia mengendap dan melihat lebih jelas, matanya terbelalak dengan
jantung seolah berhenti berdegup. Dia saksikan dengan pakaian sudah
terbuka, Ibunya sedang bersandar di pohon dekat sumur, dengan sebelah
kaki terangkat, sementara di depan, Ayahnya, dengan kelamin yang besar
dan tegang sedang bersiap menyetubuhinya. Dengan ketakutan dia segera
menjauh dari sana.
Namun bayangan itu, penis ayahnya yang besar
dan keras, kelamin Ibunya yang siap menerima penis itu, tidak pernah dia
lupakan. Sesuatu yang membuat bagian bawah tubuhnya menjadi berdenyut,
gatal dan luar biasa peka terhadap sentuhan. Badannya kadang sampai
menggigil dan pikiran-pikiran aneh yang berkaitan masalah itu, dengan
keras segera dia lupakan. Sekarang, dia akan menjadi seperti ibunya.
Budiarta memang sudah tua, tetapi sebagai orang kaya yang hidupnya
terpelihara serta rajin olahraga, pria itu tetap kelihatan agak kekar.
Berarti penisnya juga pasti masih perkasa. Itu yang belakangan ini
menggoncangkan perasaannya. Sebenarnya tidak beda jauh dengan Budiarta
sendiri. Gambaran tentang kemolekan tubuh Sumiati, aroma keremajaannya,
keranuman kewanitaannya, bangun tubuhnya yang padat karena selalu
bekerja cukup keras untuk membantu mengatasi kemiskinan keluarganya,
membuat otak Budiarta seperti gila. Meskipun ada keresahan yang tidak
habis menyelimuti batinnya.
Malam yang dinantikan oleh keduanya
itu tiba. Secara perlahan, di kamar pengantinnya yang mewah, di lantai
yang sudah dihampari kain sofa yang tebal, Budiarta melepaskan pakaian
Sumiati satu persatu. Gadis itu sendiri terus menunduk sambil membiarkan
dirinya pasrah untuk diperlakukan apapun. Tidak lama kemudian, Sumiati
sudah tergolek di atas lantai dengan telanjang bulat. Gadis itu terlihat
berusaha menutupi buah dadanya yang sintal, serta kelaminnya yang
ditumbuhi bulu agak lebat. Namun Budiarta selalu mencegah usaha itu.
Lelaki ini kemudian mengambil botol madu yang sudah disediakannya. Lalu
secara pelan menumpahkan madu tersebut ke sekujur tubuh telanjang
Sumiati, yang membuat gadis yang lebih banyak memejamkan matanya ini
menjadi kian gelisah. Apalagi ketika tangan lelaki itu, mulai meratakan
ke seluruh permukaan tubuhnya.
Dengan gemetar, nafas memburu oleh
nafsu, pria tua yang hanya mengenakan celana pendek ini, mulai menciumi
dan menjilati sekujur tubuh Sumiati. Kedua tangan Sumiati direntangkan
ke atas kepalanya. Ketiak gadis yang berbulu halus itu, dia ciumi dan
jilati. Jilatan itu meluncur turun-naik ke sana kemari. Ciuman dan
jilatan serta hisapan itu benar-benar bagai bara yang membakar. Membuat
gadis desa yang tidak pernah seumur hidupnya disentuh pria ini menjadi
tersentak-sentak, gelisah, dan terengah-engah menahan gelora perasaan
dan emosinya yang bangun menggelora. Makin lama, ciuman, jilatan dan
hisapan Budiarta semakin ganas. Kedua puting buah dada Sumiati
bergantian disedot dan diremas-remasnya. Bahkan wajahnya dengan kuat
digosokan ke sana, membuat benda padat yang tegak menantang itu menjadi
penyek dan terdorong kesana-kemari. Sementara tangan Buidarta terus
mengusap, menggosok dan meremas bagian vaginanya. Memutar dan
menusuk-nusuk di sana.
Sumiati tidak tahan lagi untuk
mengeluarkan suara-suara liarnya, meski masih terdengar perlahan, pada
saat kedua pahanya dikangkangkan, kemudian Budiarta menciumi, menghisap
serta memainkan lidahnya di vagina dan bibir kelamin yang basah oleh
lendir bercampur madu itu. Sumiati mengerang nyaring kemudian mengejang,
berpegangan keras di kepala Budiarta, pada saat sesuatu yang luar
biasa, fantastis dan melambungkan dirinya ke dalam kenikmatan yang tidak
bertara datang dari dalam dirinya. Ini orgasme pertama yang pernah
dirasakannya. Sesuatu yang pernah diceritakan Ibunya, kalau penis lelaki
secara intensif keluar masuk di dalam vagina wanita.
"Itu sorga dunia, Nduk".
Budiarta
nampak terengah-engah, menyaksikan gadis yang memandangnya dengan mata
sayu, hanyut jauh oleh nafsu dan kenikmatan itu. Tetapi mengapa dia
belum juga membuka celana pendeknya, mengeluarkan sesuatu yang sejak
tadi meski malu ingin sekali disaksikan Sumiati. Sesuatu yang menurut
Ibunya tidak masalah jika kau jilat, kau hisap, dan kau telan air yang
akan keluarmenyemprot dari sana. Air cikal-bakal kehidupan fisik seorang
manusia. Mengapa benda yang tegar, perkasa dan penuh pesona itu tidak
juga ditunjukan serta diberikan ke dirinya untuk bisa ganti dia
rangsang?
Pertanyaan ini membayangi perasaan Sumiati, ketika
Budiarta kembali memperlakukan dirinya seperti tadi. Menjilatinya,
menghisapnya dengan ganas. Bahkan membalikanan tubuhnya, mengangkat
pantatnya, kemudian menjilati anusnya yang membuat dia berpegangan di
sofa tebal yang empuk tersebut dengan tubuh menggigil dan
tersentak-sentak menahan getaran nikmat tidak terlukiskan.Sumiati
kembali merasakan orgasmenya. Kali ini bahkan lebih hebat dari yang
pertama, karena membuatnya tanpa sadar terpekik dan mengejang sangat
lama. Nafasnya kemudian memburu kencang, seperti telah berlari naik
gunung. Budiarta kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sisi gadis itu.
Tergolek di sana. Lama. Sumiati berusaha bangun dan diam-diam merasa
tidak mengerti, mengapa celana pendek suaminya itu tidak menunjukkan
sesuatu yang sedang berdiri keras di baliknya. Sesuatu yang tegang dan
sejak tadi dibayangkannya mirip seperti kepunyaan Ayahnya. Apa yang
sebenarnya terjadi?
Dengan agak ragu, namun dibekali peringatan
Ibunya, agar dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya,
Sumiati pelan-pelan menyentuh celana itu. Budiarta hanya diam membisu.
Malah dia kemudian menurunkan celana terbut, menunjukan kelaminnya yang
astaga ternyata kecil, lembek dan mirip dengan punya adik lelakinya yang
diam-diam sering dia saksikan di rumah. Inikah yang pernah dia dengar
tentang impotensi? Ketidakmampuan seorang lelaki untuk melakukan
hubungan seksual? Apakah itu karena pria ini sudah tua, dan wajar
seorang pria seperti dirinya tidak bisa gampang lagi memfungsikan alat
kejantanannya? Atau dia harus berperan lebih berani dan aktif, seperti
yang telah diajarkan Ibunya? Pikiran ini, membuat Sumiati pelan-pelan
meremas penis yang lunglai itu dengan tangan gemetar. Lalu akhirnya
menunduk dan mulai menjilatinya.
Budiarta cepat membuka kakinya
lebih lebar. Sumiati memasukan penis itu ke dalam mulutnya. Mengecup,
kemudian mulai menghisapnya, seperti biasa dilakukan bayi terhadap ibu
jarinya. Tubuh Budiarta kelihatan menggeliat-geliat menahan nikmat.
Tetapi berlalu tiga, lima, bahkan sepuluh menit, penis itu tidak juga
mau tegang. Ada memang perubahan, karena tidak lagi selembek tadi.
Tetapi tetap saja lemah. Dan mendadak Budiarta menjauhkan wajah Sumiati
lalu menggeleng dengan wajah sedih. Sumiati terpana.
Mengapa Budiarta tidak pernah lagi terpikir untuk menikah selama puluhan
tahun, dan mengapa akhirnya dia memutuskan untuk mengawini Sumiati, itu
semua beranjak dari kondisi dirinya yang demikian. Dia tahu Sumiati
gadis yang menarik dan merangsang namun sekaligus penuh pengabdian dan
sangat penurut sehingga tidak terlalu dikhawatirkan bisa berbuat
macam-macam di belakangnya. Yang lebih penting lagi, perwatakan itu akan
membuatnya bisa melaksanakan keinginan tersembunyi yang dahulu pernah
diminta bisa dilakukan tiga istri terdahulunya, namun justru akhirnya
menimbulkan perceraian diantara mereka. Karena kedua istrinya itu
kemudian jatuh ke tangan orang lain dengan membawa banyak hartanya.
Secara
fisik, meski sudah berusia lebih enam puluh tahun, Budiarta sebenarnya
masih normal. Namun secara psikis, seksualnya terganggu. Dia tidak mampu
berhubungan dengan wanita secara normal. Untuk itu, ada cara-cara yang
harus dilakukan untuk bisa membangunkan penisnya. Awalnya dia masih
berspekulasi, keranuman Sumiati, daya tarik seksualnya serta kesuciannya
sebagai gadis yang diakui Parto ayah Sumiati sendiri akan bisa secara
perlahan membantu mengatasi problema dirinya. Ternyata tidak.
Berulang
kali setelah malam pertama itu, Budiarta tetap gagal menyetubuhi
Istrinya. Padahal dia ingin sekali menikmati keperawanan wanita yang
bangun fisik serta aroma tubuhnya sangat merangsang itu. Sumiati
sendiri, seperti memang diperkirakannya, terlihat tidak
terlalumempermasalahkan itu. Dia terkesan sangat tidak ingin suaminya
menjadikan faktor tersebut sebagai hal yang mengecewakan. Dan tampaknya,
Sumiati merasa cukup puas dengan permainan tangan dan mulut suaminya di
seluruh bagian tubuhnya. Dia selalu mampu berulang-ulang mencapai
orgasme, meski tentunya tetap berbeda dengan orgasme yang dihasilkan
oleh sebuah proses coitus sesungguhnya. Sesuatu yang dahulu pernah
diterapkan Budiarta dengan tiga istrinya, segera kembali ingin
diulanginya. Oleh faktor pertimbangan ketulusan pengabdian Sumiati, dia
yakin, wanita itu tidak akan mengkhiantinya, seperti halnya tiga
istrinya terdahulu. Ini alasan mengapa dia memutuskan untuk menjadikan
Sumiati istrinya yang terakhir.
Sumiati tersentak, ketika
keinginan itu dia sampaikan. Bahkan membuat wanita itu sampai gemetar
karena terkejut dan penolakannya. Namun dengan halus Budiarta terus
membujuk dan memberikannya pengertian.
"Aku perlu penyembuhan. Aku
tidak akan bisa sembuh, tanpa terapi seks yang benar. Dan ini adalah
salah satu yang dianjurkan oleh seorang ahli kepada Mas," kata Budiarta
malam itu, usai membuat istrinya dua kali orgasme dengan tangan dan
mulutnya.
Sumiati menelan ludahnya berulang kali dengan bingung.
"Lelaki
itu hanya untuk membangkitkan kemampuan Mas. Dia nanti akan mencumbumu,
namun tidak sampai menyetubuhimu. Nanti setelah punya Mas ini bangun,
dia akan pergi dan selanjutnya kita akan bisa berhubungan dengan normal.
Ini juga perlu untukmu, Sum. Kau tidak boleh hanya menikmati hubungan
seperti selama ini."
"Tapi, kenapa.. kenapa harus begitu?"
"Jika
melihat kau dirangsang oleh orang lain, maka nafsu Mas akan bisa
dibangkitkan sampai ke puncaknya yang membuat punya Mas bisa bangun. Mas
pernah melakukan ini dengan istri-istri Mas terdahulu, tapi sayangnya
mereka akhirnya menghianati Mas. Tapi Mas yakin, Sumiati tidak akan
memiliki pikiran sekotor mereka itu."
Sumiati seperti termangu.
Budiarta terus melontarkan bujukannya. Dia meyakinkan wanita muda itu,
bahwa apa yang akan dilakukannya dengan lelaki yang akan didatangkan di
rumahnya tersebut, merupakan bagian dari proses pengobatan dirinya.
"Kalau
kau mengabdi dengan Mas, sayang dengan Mas, ingin mengobati
menyembuhkan penyakit yang sangat menyedihkan ini, kau pasti bersedia.
Jangan anggap ini penghianatan, tetapi pengobatan. Bukankah di dalam
Agama, barang haram pun bisa dihalalkan, jika diperlukan secara darurat
untuk pengobatan?"
Oh ini salah satu argumentasi hebatnya melemahkan
hati sang istri. Setelah beberapa hari membujuk, Sumiati akhirnya
bersedia. Budiarta gembira sekali. Dia sudah memilih seorang gigolo,
sang Pejantan untuk merangsang habis Sumiati, sementara dia akan
mengintip perbuatan mereka. Syaratnya, lelaki itu meskipun telanjang,
dan mungkin akan sangat terangsang, tidak boleh sampai menyetubuhi
istrinya. Dia sendiri sudah mengingatkan Sumiati, untuk benar-benar bisa
menghayati dan melayani rangsangan si lelaki.
"Kalau kau tidak mampu
terangsang, karena takut, atau hatimu diam-diam menolak, maka nafsu dan
punya Mas juga tetap tidak akan bangkit secara sempurna. Bahkan malah
tambah payah karena Mas merasa bersalah. Kau harus benar-benar
menganggap lelaki itu suami sementara untuk pengobatan Mas. Kau paham?"
kata Budiarta menjelang pelaksanaan terapi seks tersebut.
Lelaki
yang dipanggil Budiarta secara khusus itu, adalah seorang pria 27 tahun
yang cukup ganteng, dengan tubuh kekar dan memiliki segalanya untuk bisa
memuaskan seorang wanita. Badannya berbulu, beralis lentik, dengan
kumis agak tebal di bawah hidung mancung yang menjadikan ciri keturunan
Arabnya cukup kentara. Namanya Arman. Jantung Sumiati berdebar kencang
menyaksikan kehadiran pria tersebut. Seseorang yang tidak bisa dia
sangkal, sangat, sangat, sangat menarik, lembut dan sopan. Seseorang
yang akan merangsangnya dalam kondisi sama-sama telanjang bulat berduaan
di dalam kamar yang akan dikunci si lelaki dari dalam, sampai kemudian
pintu kamar itu kembali dibuka waktu suaminya mengetuk dari luar.
Kepada
istrinya, Budiarta menyatakan akan pergi keluar rumah kira-kira
setengah jam, baru kemudian datang lagi dan menunggu penisnya bisa
bangkit dengan menyaksikan keduanya bergulat dari balik pintu.
Sebenarnya tidak persis begitu. Budiarta tidak benar-benar pergi, namun
sekedar mengesankan keluar rumah dengan cara menutup daun pintu dari
luar, tetapi segera balik lagi dan mulai melakukan pengintipan dari
lubang yang secara diam-diam telah dibuatnya tanpa setahu Sumiati.
Sumiati
benar-benar melayang hanyut. Dengan gemetar, dia membalas pagutan dan
rangsangan Arman yang terasa sangat ahli itu. Berulangkali dia hampir
orgasme dengan kepiawaian foreplay sang Pejantan, namun digagalkan si
lelaki lewat cara yang juga piawai. Sepanjang proses perangsangan itu
sendiri, tidak hentinya Arman melontarkan bisikan-bisikan mesra, penuh
sensasi dan sanjungan yang membuat Sumiati semakin melayang.
"Kau
cantik, tubuhmu harum merangsang. Oh.. susumu kenapa begini padat dan
menantang? Dan inimu.. ini clitorismu.. keras sekali.. bagaimana
perasaanmu? Kau terangsang sayang?" bisik Arman.
"I.. iiya.."
Dengan
mata melotot dan nafas memburu, Budiarta menyaksikan bagaimana istrinya
mengerang dan menjerit oleh remasan, pijatan, usapan tangan, maupun
permainan lidah serta hisapan dan jilatan sang Pejantan.
Arman
kadang juga menggunakan kaki dan dengkulnya, gosokan dadanya yang penuh
bulu, untuk menambah sensasi dan rangsangan terhadap Sumiati. Terlihat
sekali, Arman terangsang dengan aroma seks yang ditebarkan wanita di
depannya. Bau khas tubuh Sumiati membuatnya bagai mabuk. Sementara
kejutan-kejutan alamiah di beberapa bagian otot tubuh Sumiati
meyakinkannya tentang virginitas wanita ini, seperti memang sudah
diceritakan Budiarta. Saat pria itu melepas celananya, telanjang bulat
sama sekali, mata Budiarta tambah melotot. Luar biasa. Penis itu
demikian besar dan kerasnya sehingga masih mampu tegak ke atas, ketika
Arman berdiri. Oh itu tidak boleh terjadi jika lelaki bayaran itu
merenggut keperawanan Sumiati yang sudah menjadi miliknya. Tetapi dia
percaya, si lelaki tidak akan melanggar kontrak dengan bayaran mahal
ini.
Budiarta menyaksikan Arman mendudukan Sumiati yang kelihatan
sangat terangsang dan terkesan menjadi liar dan buas itu di tempat
tidur. Dia sendiri berdiri di lantai. Penis besarnya kemudian diarahkan
ke mulut Sumiati. Tanpa diminta dua kali, Sumiati yang mengira suaminya
masih pergi, kemudian menjilat, mengulum, lalu menghisap benda yang
sudah lama diidamkannya itu. Sangat rakus!
"Oh.. besar.. besar sekali.. punyamu besar," bisiknya bagai orang mengigau.
Budiarta
melihat air liur istrinya bertitikan di buah dadanya sendiri dengan
kedua putingnya terlihat demikian tegang. Tidak hanya itu, Sumiati
terlihat juga mulai menjilati seluruh bagian kelamin Arman. Seperti
kedua kantung testikelnya yang berganti-ganti dijilat dan disedotnya.
Kemudian kedua lipatan pahanya.
Yang membuat Budiarta terpesona,
dalam melakukan perbuatan itu, adalah Sumiati terus berusaha memandang
wajah Si Lelaki, seperti ingin mengetahui, bagaimana reaksi yang muncul
dari perbuatannya. Dan setiap Arman menjerit keenakan entah disengaja
atau tidak, Sumiati juga ikut mengerang dengan mulut penuh itu, karena
terangsang. Sumiati, si istri yang selama ini demikian pemalu, lugu,
tertutup, penuh pengabdian, seperti telah berubah total. Budiarta
menyaksikan bagaimana istrinya itu menarik tubuh Arman untuk
ditelentangkan di tilam, lalu menjilati seluruh tubuh pria yang baru
dikenalnya itu, kemudian menghisap dan mengocok penis besar si pria
keturunan Arab yang kelihatan perkasa. Dia tidak mendengar bagaimana
bisikan-bisikan yang dilakukan keduanya.
"Mbak Sum kau ahli.. hisapanmu hebat.. ohh yahh.. kau pintar.. kau ingin itu? Kau mau punyaku?" bisik Arman.
"Mau.. kau punya besar.. aku mau..," bisik Sumiati diantara kesibukan menghisapnya.
Jelas
itu ungkapan bawah sadarnya. Kocokan tangan Sumiati demikian cepat,
membuat Arman menoleh ke arah pintu seperti ingin mengetahui bagaimana
kondisi Budiarta. Pantatnya diangkat, menahan kenikmatan dari permainan
si wanita yang kelihatan sudah bagai orang kalap akibat nafsu. Lelaki
yang sangat berpengalaman dengan ratusan bahkan ribuan wanita ini
menggeliat-geliat ingin melepas bendungan di dirinya.
Di luar,
Budiarta tiba-tiba merasakan celana dalamnya mengetat. Penisnya bangkit!
Oh cukup keras dan menggetarkan. Inilah saatnya. Pintu segera dia
ketuk, bersamaan dengan pekikan Arman yang menggeliat-geliat dengan
bagian kepala penis besarnya memenuhi seluruh mulut Sumiati. Wanita ini
seperti mengerang dan dengan rakus menyedot serta menghisap habis tanpa
sisa, sperma yang secara keras kemudian disemprotkan dari mulut penis
Arman. Budiarta mengetuk lebih keras pintu itu. Arman segera melompat
bangkit. Membukakannya, dimana Budiarta kemudian langsung menerobos
masuk, menindih istrinya yang penuh keringat, kemudian mulai mengambil
apa yangmenjadi haknya. Menikmati keperawanan Sumiati, menembus selaput
daranya. Sumiati sendiri, bagai orang kesetanan, menyambut sergapan
suaminya dengan jalan mengangkangkan pahanya lebar-lebar, menunjukan
belahan bibir kelaminnya yang besah dan merah. Dia sudah kehilangan rasa
maludengan kehadiran orang ketiga di dalam kamarnya. Arman sendiri,
sesuai perjanjian yang telah disepakati, segera keluar. Ketika dia
menutup pintu, terdengar jeritan kesakitan bercampur nikmat yang sangat
merangsang dari mulut Sumiati.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar