Di rumah, saya tinggal dengan kedua orang tua dan dua orang adik
perempuan, kedua orang tua saya bekerja dan kedua adik saya masih duduk
dibangku sekolah, sedangkan saya kuliah di salah satu universitas
terkenal di Jakarta. Nama saya Agus (bukan nama asli). Kami tinggal
disebuah komplek perumahan yang tidak begitu elit di Bogor. Rumah kami
saling berdekatan dengan tetangga sebelah dan kami cukup mengenal satu
sama lain sehingga terkadang kami saling membantu, mereka datang kerumah
atau sebaliknya.
Kejadiannya lima tahun yang lalu, suatu ketika
tetangga saya pindah rumah. Tepatnya berselang dua rumah dengan rumah
saya. Dalam beberapa hari rumah itu kosong dan yang tersisa hanya sebuah
lampu bohlam yang terus menyala di teras rumahnya. Saya tahu karena
rumah itu selalu saya lalui kalau pulang kerumah. Persisnya satu minggu
setelahnya, Rabu siang hari, disebelah rumah agak sedikit berisik. Saya
kebetulan sedang tidak kuliah penasaran apa yang terjadi disana.
Ternyata ada yang mengisi rumah itu. Saya hanya menonton mereka yang
sedang memindahkan barang-barang kedalam rumah. Setelah saya tanya
ternyata rumah itu dibeli oleh seorang wanita yang rencananya rumah
tersebut akan ditempati oleh saudaranya.
Sore hari keesokan
harinya ketika saya hendak pulang, seperti biasa saya melewati rumah
itu. Terlihat seorang wanita, umurnya berkisar 30 tahunan. Saya secara
spontan menemuinya dan memperkenalkan diri saya. Kurang lebih lima menit
saya berbicara dengannya. Namanya Endang, walau lebih tua dari saya
tetapi dia tidak mau dipanggil "Teteh". Tapi saya bersikeras untuk tetap
memanggilnya dengan sebutan itu. Bentuk tubuhnya lumayan "Bahenol",
wajahnya manis dan murah senyum, dan dari situ saya tahu bahwa dia hanya
berdua dengan seorang pembantu rumah tangga. Beberapa hari selanjutnya
keluarga kami sudah cukup mengenal teh Endang begitu juga para tetangga
yang lain.
Suatu hari saya sedang tidak kuliah jadi saya santai
dirumah, kebetulan saya dirumah sendiri, teh Endang datang kerumah ingin
meminta pertolongan.
"Puunteen..", katanya dengan suaranya yang halus dan logat daerahnya yang kental.
"Eh.. teh Endang, ada apa ya?", sahutku.
"Lho Agus ngga kuliah?", tanyanya penasaran.
"Engga teh.., engga ada kuliah hari ini, ada apa teh?", tanyaku lagi.
"Agus bisa bantu Endang ga?", katanya dengan sedikit canggung.
"Kalo bisa saya bantu kenapa engga teh!", kataku untuk meyakinkan dia.
"Bener
nih? di rumah banyak kursi yang masih berantakan.. jadi Endang minta
tolong diatur biar ga berantakan.. soalnya ngehalalangan jalan", katanya
dengan memelas.
"Kan Agus gede badannya jadi Endang minta tolong ya.. enteng koq", tambahnya sambil menepuk pundakku.
"Masa suka pitnes ga kuat sih!", katanya sambil tersenyum manis padaku.
Melihat
senyuman itu sebagai seorang laki-laki saya tertantang dan saya
langsung berkata "Ya" walau dalam hati dan saya yakin semua laki-laki
apabila mengalaminya akan sama reaksinya dengan saya.
"Iya deh teh, saya bantu..", jawabku dengan sedikit kasihan melihat raut mukanya.
"Bener nih?", katanya untuk meyakinkan saya.
"Ya udah kalo ga mau mah teh..", kataku untuk memancing dia.
"Eh.. Agus ga marah kan, soalnya takut ganggu kamu, yuk..", katanya sambil mengajakku kerumahnya.
Setelah
sampai dirumahnya saya heran karena semua perabotan rumahnya telah
tertata rapih. Saya merasa tertipu dan agak menyesal atas kejadian itu.
Tetapi saya melihat sebuah lukisan yang belum tergantung. Lukisan itu
lumayan besar dan saya perkirakan memang agak berat untuk diangkat oleh
teh Endang.
"Aduh maap ya Gus, bukannya Endang boong sama Agus.. cuma
emang lukisannya mau digantung berat sekali.. jadi Endang bilang kursi
bukannya lukisan.. ga pa pa kan Gus?", katanya sambil menjelaskan hal
itu.
"Ooh.. ya ga pa pa sih teh, cuma teteh bilang aja.. ga usah malu-malu.. kita kan tetangga harus saling tolong", kataku.
Lalu teh Endang menyerahkan beberapa buah paku, palu, dan tidak lupa lukisan yang berat itu. Lalu teh Endang masuk kekamarnya.
Saya
mulai bekerja dan tiba-tiba teh Endang keluar sambil berkata, "Gus maap
ya Endang tinggal dulu, soalnya ada perlu sebentar, kalo perlu apa-apa
tinggal minta si Yuyun aja yah", katanya.
Dari situ saya baru tahu nama pembantunya.
"Nanti Endang kasi oleh-oleh deh buat Agus", Tambahnya sambil tersenyum keluar rumah.
Lalu
dia berteriak kepada pembantunya bahwa dirumah ada saya sedang memasang
lukisan itu dan dia pun pergi sambil membawa mobil sedannya.
Setelah pembantu itu menutup pintu garasi rumah lalu ia masuk dan menemuiku.
"Agus
maaf ya, ga bisa saya temenin soalnya banyak yang musti dikerjain nih..
kalo perlu sesuatu panggil saya aja yah!", katanya.
"Eh.. iya Mbak, silahkan..", kataku sambil memperhatikannya.
Dia
berbalik lalu berjalan ke arah kamarnya didekat ruang dapur. Saya
perhatikan memang umurnya agak sedikit lebih tua dari saya dan bentuk
tubuhnya agak montok dan berisi. Setelah beberapa lama selesai juga
lukisan itu tergantung di dinding. Saya mulai merasa haus. Saya panggil
si Yuyun tetapi dia tidak menyahut. Lalu saya menuju dapur dan ternyata
ada kulkas di sana. Ketika selesai minum saya mendengar seperti suara
percikan air dan ternyata memang dari kamar mandi. Si Yuyun memang
sedang mandi. Kemudian tidak tahu dari mana datangnya, saya mulai
penasaran ingin mengintip si Yuyun. Saya membayangkan tubuh Yuyun yang
tadi masih memakai pakaian lalu saya membayangkan bagaimana tubuhnya
apabila telanjang bulat. Badan saya langsung memanas dan gemetar sambil
berusaha mencari celah untuk mengintip. Tetapi sayang sekali tidak ada
satu celah pun, kemudian saya berfikir untuk melihat Yuyun berganti
pakaian dimana lagi selain di kamarnya.
Saya mencari kamarnya
dekat dapur. Saya mendapatkan hanya satu kamar disitu dan saya
berkesimpulan bahwa itu memang kamarnya. Saya masuk kamar itu lalu saya
mencari tempat yang bagus untuk bersembunyi. Akhirnya saya bersembunyi
dibawah kasurnya. Beberapa menit kemudian Yuyun masuk kamar dan mengunci
pintunya. Pertama hanya terlihat kedua kakinya saja lalu tiba-tiba
terlihat handuknya yang terbelit di badannya dilepasnya, karena
handuknya seperti berputar-putar mengelilingi badannya lalu bunyi
seperti sebuah benda yang dilemparkan ke kasurnya. Saya yakin si Yuyun
dalam keadaan telanjang. Dengan nafas yang memburu saya berusaha
mengintip dari bawah kasurnya.
Setelah berusaha saya melihat
badannya yang membelakangi saya sedang memilih pakaian dalamnya. Saya
hanya melihat bagian (maaf) pantatnya saja yang besar dan padat juga
sedikit bagian payudaranya dari arah belakang. Payudaranya memang besar
sekitar 36B tetapi saya yakin lebih besar dari itu. Lalu dia agak
sedikit menungging dan dari belahan pantatnya terlihat bulu-bulu halus
mengelilingi vaginanya yang hanya terlihat sebagian dari belakang.
Vagina itu terjepit oleh pantatnya sehingga hanya berbentuk garis hitam
saja dan kebetulan bulu-bulu yang mengelilinginya tidak banyak.
Tiba-tiba dia jongkok lalu terbukalah vagina Yuyun. Saya yang dari tadi
memperhatikannya sudah tidak kuat lagi sepertinya saya ingin menyentuh
dan memegang seluruh tubuh Yuyun. Badannya yang sintal serasa memanggil
saya untuk menyentuhnya. Penis saya serasa ingin bergerak bebas. Penis
saya sudah tegang dari tadi tetapi terasa sakit karena terhalang celana
dan tertahan oleh ubin. Dalam hati saya ingin keluar dari tempat
persembunyian lalu saya menyetubuhinya hingga saya puas. Apakah saya
berani?
Saya mencoba bertahan untuk tidak melakukannya tetapi apa
boleh dikata keinginan saya untuk berbuat lebih besar. Lalu saya kaluar
secepat mungkin lalu saya memeluk badan Yuyun dari belakang sambil
mulutku menciumi lehernya, tangan kanan saya meremas payudaranya, dan
tangan kiri saya mulai membelah vaginanya dengan dua jari dan memasukan
jari tengah ke dalam lubang vaginanya. Yuyun kaget dan sudah terlambat
untuk menghindar dari perlakuan saya.
"Eh.. siapa.. eehh.. ja.. ngan.. aahh.. oohh.. oohh..", suaranya sambil berusaha membalikan badannya.
"Kamu
sexy.. mmhh.. ssllrrpp.. mmhh.. jangan takut.. gue bikin lu puas Yun..
mmhh.. sslrrpp..", bisikku sambil terus mencumbunya dan menggerayangi
seluruh tubuhnya.
"Ku.. rang.. ajar.. ehh.. mmhhehh.. oohh.. aughh..
le.. pas.. in.. haahh.. aahh.. mmhh.. aahh..", katanya sambil terus
mencoba membalikan badannya.
Dari desahannya saya muai yakin
bahwa Yuyun sebentar lagi akan menjadi santapan yang lezat untuk
memenuhi nafsu birahi saya. Terlihat dorongan Yuyun sudah mengendor dan
yang terdengar hanya desahannya saja yang membuat saya makin bernafsu.
Setelah Yuyun lemas tak berdaya seluruh tangan saya lepaskan dari
badannya lalu saya membopongnya ketempat tidurnya. Setelah badannya saya
rebahkan ditempat tidur saya melihat Yutun sudah pasrah dan terlihat
air mata yang keluar dari matanya. Sepintas saya merasa kasihan tetapi
saya sudah tidak dapat berfikir panjang lagi melihat badan yang sudah
telanjang bulat dan pasrah ada didepan saya dan siap untuk dinikmati.
Lalu
saya membuka seluruh pakaian dan sayapun telanjang sudah. Lalu saya
mendekati badan Yuyun dan menindihnya lalu saya cium seluruh wajahnya.
Kedua tangan saya memegang kedua tangannya sehingga penis saya dan
vaginanya hanya bersentuhan dan bergesekan. Dari vaginanya sudah banyak
cairan yang keluar yang menandakan dia sudah terangsang oleh perlakuan
saya tadi. Bibirnya saya cium dan langsung saya kulum sihingga lidah
saya secara leluasa masuk kedalam mulutnya. Saya tidak menyangka
ternyata Yuyun membalas ciuman saya tadi sehingga kami bergelut dalam
ciuman yang sangat bernafsu. Lidah kami berdua seakan menyatu dan
berusaha untuk mendapatkan apa yang kami cari, KEPUASAN..
Setelah
kami berciuman, kedua tangan saya langsung saya arahkan kearah
ketiaknya sambil sedikit mengelitiknya. Bibir saya secara liar menjalar
ke payudaranya secara bergantian.
"Oohh.. eehh.. mmhh.. Gus.. aahh.. aahh.. aahh..", desahnya.
"Gimana Yun enak kan?", tanyaku padanya.
"Ee.. nn.. aakk.. ahh.. mmhh.. Gus.. ja.. ngan.. brenti.. aahh.. oohh.. aahh..", desahnya dengan agak sedikit berteriak.
"Ehh.. Yun.. jangan teriak-teriak dong, nanti banyak yang denger..", kataku sambil melihat sekeliling kamar.
"Abis.. ennakk.. eennaakk.. enn.. eenn.. nnaakk..", desahnya lagi tetapi sekarang sambil berbisik.
Setelah Yuyun berkata demikian badannya terasa terangkat dan pinggulnya mendorong-dorong badan saya.
"Eehh.. eehh.. mmhh.. Gus Yuyun mau pipis.. adduuhh.. aahh.. pipiss.. ppiiss.. mmhh.. pi.. ppiiss..", desahnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar